Mengenal Roti Buaya yang Selalu Hadir dalam Pernikahan Adat Betawi

899
Roti Buaya
Roti buaya menjadi jadi lambang kesakralan pernikahan dan simbol memulai kehidupan baru bagi kedua mempelai dalam pernikahan adat Betawi. (Foto: Pariwisata Indonesia)

1001indonesia.net – Roti buaya senantiasa hadir dalam upacara pernikahan dan kenduri tradisional Betawi. Bagi orang Betawi, roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam hidup berumah tangga, seperti buaya yang hanya memiliki satu pasangan seumur hidupnya.

Roti buaya merupakan hidangan roti manis berbentuk buaya. Roti ini menjadi simbol harapan agar pasangan yang menikah mendapatkan keberuntungan, kemakmuran, kemapanan, dan kelanggengan dalam kehidupan berumah tangga.

Konon katanya, bentuk buaya dari roti ini merupakan manifestasi dari pemahaman masyarakat Betawi tentang siluman buaya yang dipercaya tinggal di sumber mata air di lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat Betawi.

Siluman buaya diyakini menjaga entuk atau mata air. Makhluk tidak bisa hidup tanpa air. Dengan demikian, mata air merupakan salah satu sumber bagi kehidupan manusia.

Oleh masyarakat Betawi, bentuk buaya kemudian dijadikan sebagai simbol melanjutkan kehidupan. Di dalam acara pernikahan, bentuk ini menjadi simbol sepasang pengantin memasuki kehidupan baru.

Sepasang roti buaya pada pernikahan adat Betawi menjadi lambang mempelai pria dan wanita yang akan menikah. Roti buaya yang berukuran lebih besar melambangkan mempelai pria. Sementara, yang berukuran lebih kecil melambangkan mempelai wanita.

Selain sepasang roti buaya, terdapat pula beberapa roti buaya berukuran lebih kecil. Roti tersebut jadi perlambang bahwa mempelai wanita siap melepas masa lajang dan menjadi istri untuk memberikan keturunan kepada mempelai pria.

Sepasang roti buaya menjadi lambang mempelai pria dan wanita dalam pernikahan adat Betawi. (Foto: Kompas.com)

Awalnya simbol kesetiaan dalam pernikahan adat Betawi ini tidak terbuat dari roti, tetapi dari anyaman daun kelapa atau kayu. Keadaan itu berubah setelah datangnya bangsa Eropa dan berkembangnya industri roti.

Kala itu, roti jadi makanan langka dan mahal, terutama bagi kalangan pribumi. Sebab itulah roti dipilih menjadi bahan dasar roti buaya karena dianggap sebagai simbol kemakmuran.

Awalnya, roti buaya dibuat dari roti tawar tanpa rasa. Roti tersebut pun tidak boleh dimakan, hanya dijadikan simbol dan pajangan saja.

Sesudah anak perawannya mendapat lamaran pemuda dan sudah ada ijab kabul, roti buaya dipajang sebagai tanda. Biasanya roti ini ditempelkan di garda depan rumah atau disimpan di lemari pajangan.

Memasuki abad ke-20, masyarakat mulai menganggap tradisi memajang roti buaya sebagai sesuatu yang mubazir. Sebab itu, para pembuat roti kemudian mulai membuat roti buaya manis yang bisa dimakan.

Sejak saat itu, roti buaya tidak lagi menjadi sekadar tanda dan barang pajangan. Setelah upacara ijab kabul berakhir, roti dipotong-potong lalu dibagikan ke anak-anak tetangga. Yang mendapat bagian diutamakan kerabat yang masih lajang supaya kesawaban nikah dan segera mendapat jodoh.

Baca juga: Piring Gantung, Arti Penting Keramik China bagi Orang Biak

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

three × 5 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.