Memahami Konflik dalam Masyarakat Indonesia yang Beragam

3087
Memahami Konflik dalam Masyarakat Indonesia yang Beragam
Ilustrasi (Foto: Elshinta.com)

1001indonesia.net – Sejatinya, konflik dalam kehidupan masyarakat adalah sesuatu yang bersifat endemik. Tidak ada masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik. Sebab itu, konflik selalu ada dalam setiap masyarakat, apalagi dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam.

Kesenjangan budaya dan perbedaan keyakinan sangat potensial untuk melahirkan konflik. Meski demikian, konflik tidak hanya lahir karena perbedaan budaya dan keyakinan. Ada faktor lain yang juga penting untuk dilihat, yakni ketimpangan sosial dan akses atau partisipasi pada kekuasaan.

Pada berbagai konflik dalam masyarakat Indonesia, faktor-faktor itu bisa ditelusuri, meski barangkali tidak sesederhana yang dibayangkan.

Pada faktor yang pertama, soal kesenjangan budaya dan perbedaan keyakinan, atau yang kerap disebut masalah kultural, kita sangat menyadari bahwa komunitas bangsa ini sangat
beragam. Oleh karena itu, perlu ada kearifan dalam mengelola keragaman itu.

Supardi Suparlan memiliki catatan dalam menyikapi keragaman masyarakat Indonesia. Menurutnya, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, kita perlu memperhatikan
keseimbangan hubungan kekuatan antara masyarakat suku bangsa dan sistem nasional. Keseimbangan itu menjadi prasyarat bagi stabilitas sosial.

Jika sistem nasional terlalu kuat atau dominan maka nilai-nilai yang dianut masyarakat suku akan tertekan dan melemah. Kondisi ini bisa memunculkan ekspresi-ekspresi kekecewaan dalam satire atau lelucon. Ekspresi itu merupakan bentuk dari pemberontakan terselubung atas dominasi kekuasaan nasional. Jika tidak direspons dengan tepat, kekesalan itu bisa meledak secara terbuka sebagaimana yang bisa dilihat dalam kasus konflik komunal tahun 1996 hingga 2000 di Kalimantan Barat
(Suparlan 2005).

Dalam konteks kebijakan pengelolaan keragaman di Indonesia, Suparlan berpendapat, alih-alih menekankan keragaman suku bangsa, ia lebih memberikan perhatian pada
keragaman kebudayaan. Dalam hal ini ia membedakan antara cara pandang keragaman suku bangsa dan keragaman kebudayaan.

Yang harus kita ambil sebagai perspektif adalah masyarakat berkeragaman kebudayaan (multicultural society) atau paham multikulturalisme, bukan masyarakat majemuk (plural
society).

Yang ia pahami sebagai multikulturalisme adalah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak hidup masyarakat. Multikulturalisme mengagungkan dan melindungi keanekaragaman budaya, termasuk kebudayaan kelompok minoritas.

Dalam multikulturalisme semua kebudayaan ada pada posisi yang sederajat. Tidak hanya itu, dalam multikulturalisme juga terjadi pengayaan budaya dengan mengadopsi unsur-unsur budaya lain yang dianggap cocok dan berguna tanpa ada hambatan.

Selain masalah budaya, kita juga harus melihat ketimpangan sosial yang tajam sebagai sumber konflik. Masalah pengangguran karena tidak adanya pekerjaan menjadi perhatian
van Klinken ketika menganalisis konflik-konflik di luar wilayah Jawa.

Menurut van Klinken pandangan yang mengatakan bahwa konflik di luar Jawa adalah akibat dari migrasi yang masif tidaklah terlalu tepat. Jika dilihat lebih detail, jumlah para
pendatang di beberapa daerah konflik sebenarnya tidak terlalu besar. Misalnya, orang Madura di Kalimantan jumlahnya tidak lebih dari 3 persen. Padahal di tempat lain, jumlah pendatangnya bisa lebih besar.

Begitu juga pandangan yang menilai bahwa konflik itu terjadi karena adanya kejengkelan dan sakit hati sehingga muncul mobilisasi untuk menyerang kelompok lain. Bagi van
Klinken, sulit membayangkan bahwa orang bisa dimobilisasi sedemikian lama sebagaimana yang terjadi dalam konflik di luar Jawa, hanya karena kejengkelan atau sakit hati semata (van Klinken 2007).

Dalam pandangannya, untuk kasus daerah luar Jawa sebenarnya ada penjelasan yang barangkali lebih masuk akal. Alternatif penjelasan itu ada pada akses pekerjaan masyarakat yang mengalami deagrarianisasi.

Deagrarianisasi adalah beralihnya masyarakat dari kerja sektor pertanian dan juga nelayan ke kerja nonpertanian.

Sejak masa Orde Baru, Indonesia mengalami deagrarianisasi besar-besaran, dari 36 persen pada tahun 1971 menjadi 55 persen pada 1998. Pertanyaan penting dalam masalah ini, setelah mereka pergi dari sektor kerja pertanian atau nelayan, ke mana mereka kemudian bekerja?

Di Jawa, hal itu terjawab karena kerja industri mampu menyelamatkan mereka. Namun di luar Jawa, hal itu menjadi masalah yang sangat serius. Kelompok masyarakat yang mengalami deagrarianisasi menggantungkan hidupnya pada para broker yang memperoleh proyek-proyek pemerintah lewat birokrasi.

Ketergantungan ini menjadi kondisi yang memungkinkan (condition of possibility) bagi konflik komunal dalam jangka panjang ketika para broker itu menjadi aktor-aktor
utama dalam konflik itu.

Faktor lain yang juga perlu dilihat sebagai sumber konflik adalah proses peminggiran yang masif yang dilakukan oleh negara terhadap satu kelompok masyarakat.

Di masa Orde Baru, lewat kebijakan pembangunannya, pemerintah kerap menempatkan
kelompok etnis lokal, seperti yang dialami oleh suku Dayak di Kalimantan sebagai terbelakang dan primitif. Kebijakan tersebut membuat kelompok yang dinilai primitif itu semakin tersingkirkan. Mereka bukan hanya tidak bisa mengakses kekuasaan, tetapi
ruang hidupnya juga hilang.

Kondisi itu tentu saja melahirkan kemarahan kolektif. Namun pada saat yang sama
mereka menyadari bahwa mereka tidak akan mampu melawan kekuasaan negara yang dijaga oleh militer pada saat itu. Maka ekspresi kemarahannya diarahkan kepada kelompok “paling lemah” yang kadang juga disokong oleh negara.

Barangkali itulah beberapa penjelasan tentang faktor-faktor konflik dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Faktor-faktornya juga sangat beragam dan kompleks sehingga tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus. Semua faktor itu seharusnya
disadari dan dipahami sebagai peringatan agar kita tidak lagi terjerembab dalam konflik besar di masa depan.

Memang dalam kondisi yang sangat kompleks seperti di Indonesia, tidak ada jaminan bahwa konflik akan hilang total. Suparlan pernah berpendapat, dalam hubungan antar-kelompok dan budaya yang beragam, tidak ada obat mujarab yang menjamin masyarakat akan imun dari konflik. Konflik antar-suku misalnya adalah produk dari hubungan antarsuku itu sendiri dengan sebab-sebab yang ada dalam konteks lokal mereka.

Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan tidak bisa sama untuk semua konflik. Baginya, cara terbaik menyelesaikan konflik jelas bukan dengan kekerasan, misalnya dengan menggunakan tentara.

Potensi konflik selalu ada dan akan tetap hidup seperti api dalam sekam yang bisa meledak setiap saat. Dalam jangka panjang, konflik bisa diredam dengan memahami penyebab-penyebabnya.

Setelah itu, kita perlu memikirkan strategi negosiasi agar masyarakat yang bermusuhan dapat hidup berdampingan secara damai.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud Toleransi. Dimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

15 − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.