1001indonesia.net – Salah satu kekayaan sastra lisan yang dimiliki Indonesia adalah krinok. Konon keberadaan sastra lisan asal Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi, ini sudah sangat tua. Cikal bakalnya sudah ada sejak zaman prasejarah.
Krinok disebut-sebut sebagai kesenian yang sangat tua dan masih bertahan hingga sekarang. Cikal bakal krinok sebagai sebuah seni vokal telah ada jauh sebelum masuknya agama Buddha ke wilayah Jambi. Di masa itu, seni suara digunakan untuk pembacaan mantra atau doa tertentu.
Dari seni vokal dalam pembacaan mantra itulah krinok berkembang. Awalnya, krinok merupakan seni vokal yang sangat sederhana, berupa puisi lama yang dinyanyikan sedemikian rupa dengan nada-nada tinggi dan tanpa iringan alat musik.
Seiring waktu, krinok berkembang menjadi seni pertunjukan teater yang dimainkan juga dengan tarian, nyanyian, dan lawakan yang terjalin dalam satu alur cerita.
Dilantunkan oleh kaum laki-laki
Pertunjukan krinok berkembang pesat pada masa pemerintahan Kerajaan Melayu Jambi (1722-1911). Pada masa itu, krinok belum menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melainkan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal sebagai sarana mengungkapkan perasaan.
Di masa silam, krinok dilantunkan oleh kaum laki-laki saat bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan. Bisa dilantunkan sendiri atau saling bersahutan dengan pelantun lain.
Konon, kesenian ini sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang sesuai dengan ajaran Islam karena pada umumnya liriknya berisi ratapan. Namun, kesenian ini tetap bertahan karena memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat.
Di masa itu, krinok memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas, dan untuk menarik hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyuarakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka.
Dipadukan dengan kelintang
Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri dengan memainkan alat musik kelintang kayu pada sela-sela waktu istirahat saat bekerja di sawah. Kelintang kayu adalah alat musik tunggal yang mampu menghasilkan nada yang harmonis.
Kelintang kayu dibuat sendiri oleh kaum perempuan di Rantau Pandan menggunakan beberapa potong kayu dari pohon ngkring beluka yang sudah dikeringkan. Setelah kering, kayu dibelah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasilkan. Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu persegi panjang dengan diberi alas dari ban bekas.
Uniknya, kelintang hanya memiliki 6 potongan kayu sehingga hanya memiliki 6 nada. Pada masa silam, masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang kayu, sehingga lebih mengandalkan naluri si pemain. Untuk menghasilkan nada-nada yang indah, kelintang kayu dimainkan oleh dua orang pemain.
Pada awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya, para seniman di Rantau Pandan memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehingga menghasilkan seni musik yang lebih menarik.
Sejak dipadukan dengan musik kelintang, keberadaan krinok semakin populer. Kesenian ini dimainkan para petani saat bekerja di sawah, baik dengan vokal solo maupun duet. Krinok dengan iringan kelintang kayu bahkan menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong royong) di sawah maupun ladang.
Dalam perkembangan selanjutnya, alat musik yang digunakan untuk mengiringi krinok semakin berkembang. Selain kelintang, juga dimainkan beberapa alat musik lain, seperti gong, gendang panjang, dan biola. Keempat alat musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi musik pengiring krinok.
Dengan bertambahnya alat musik pengiring, krinok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Semakin lengkapnya alat musik pengiring tersebut juga menjadikan kesenian ini semakin digemari, terutama oleh muda-mudi.
Itu sebabnya, krinok selalu dimainkan saat berselang, pada malam pesta pernikahan dan pada kegiatan lainnya. Iringan musik krinok yang menarik memikat para muda-mudi untuk menari secara bebas, saling berbalas pantun untuk mengungkapkan perasaan yang sedang kasmaran.
Menjadi musik pengiring tari
Dengan semakin digemari kalangan muda-mudi, seiring perkembangan waktu, krinok bahkan digunakan sebagai musik pengiring Tari Tauh. Tari yang menggambarkan pergaulan muda-mudi ini populer di Rantau Pandan.
Tauh biasanya ditarikan ketika menyambut Rajo, Berelek Gedang, dan Beselang Gedang (gotong royong menuai padi). Empat pasang, laki-laki dan perempuan, berpakaian Melayu menari diiringi kelintang kayu, gong, gendang, dan biola yang mengalunkan krinok dan pantun-pantun anak muda.
Hingga kini, krinok masih acap dipertunjukkan di Jambi, terutama di Kabupaten Bungo. Kesenian ini juga berkembang di luar Jambi, seperti di daerah Bangka, Johor, Malaka, dan Pulau Pinang.
Baca juga: Tanggomo, Sastra Lisan yang Berperan sebagai Media Jurnalistik