1001indonesia.net – Ki Nartosabdo merupakan salah satu dalang wayang kulit purwo yang melegenda. Dalang bernama asli Soenarto ini dikenal sebagai pembaru dalam seni pewayangan. Ia banyak menciptakan cerita gubahan dan membuka jalan bagi para dalang untuk berkarier profesional, tanpa menghapus nilai tradisi.
Sebelum mendalang, Soenarto dikenal sebagai pentolan Wayang Orang (WO) Ngesti Pandowo. Namun, karier pria kelahiran Wedi, Klaten, 25 Agustus 1925, itu lebih menonjol sebagai dalang.
Debut pertunjukan pertamanya sebagai dalang terjadi atas tawaran Sukiman, Kepala Studio RRI waktu itu. Kala itu, ia mendalang di Gedung PTIK, Jakarta, dengan lakon Kresna Duta. Pertunjukan yang disiarkan secara langsung oleh Radio Republik Indonesia (RRI) pada 28 April 1958 itu langsung mengakat namanya. Mengantarkannya menjadi dalang paling top pada masanya.
Sebenarnya pengalaman pertama mendalang tersebut sempat membuat Ki Narto panik di atas pentas. Sebab, pada saat itu pekerjaannya yang sesungguhnya ialah pengendang grup WO Ngesti Pandowo. Namun, pertunjukan tersebut ternyata sukses. Berturut-turut ia lalu mendapat kesempatan untuk mendalang di Solo, Surabaya, Yogya, dan seterusnya.
Tidak seperti dalang lain pada umumnya, Soenarto sendiri bukan keturunan dalang. Ayahnya, Partiniyo, merupakan perajin sarung keris. Kesulitan ekonomi membuat bungsu dari delapan bersaudara itu bersekolah hanya hingga kelas tiga di Standaard School Muhammadiyah. Ia kemudian menjadi mencari uang dengan menggambar, sebelum kemudian masuk salah satu sekolah Katolik. Di sekolah itulah bakat seninya berkembang.
Baca: Keris, Fungsinya Lebih dari Sekadar Senjata
Ia piawai bermain gitar, menari, dan bermain biola, hingga kemudian menjadi pemain pada orkes keroncong Sinar Purnama. Salah satu titik paling berarti bagi kariernya ialah pertemuan dengan Ki Sastrosabdo, pendiri WO Ngesti Pandowo, pada 1945. Ngesti Pandowo yang berdiri pada 1937 di Madiun, Jawa Timur, keliling dari satu kota ke kota lain untuk mementaskan wayang orang.
Di satu kota, Pak Sastrosabdo melihat ada kelompok ketoprak lain yang menarik banyak penonton. Yang menjadi daya tarik dari kelompok ketoprak tersebut ialah karawitannya. Pak Soenarto, yang merupakan penabuh gendang di kelompok tersebut, kemudian diajak bergabung dengan Ngesti Pandowo.
Seiring waktu, Soenarto dipercaya menjadi pemimpin karawitan di Ngesti Pandowo. Sejumlah perubahan dibawanya hingga kelompok itu berkembang dan digandrungi. Atas jasanya, Soenarto diizinkan Sastrosabdo untuk menyematkan ”Sabdo” di belakang namanya. Sejak itu, ia dikenal dengan nama Nartosabdo.
Atas apa yang ia lakukan, keberadaan Nartosabdo di WO Ngesti Pandowo begitu dihargai. Meski ia bukanlah pendiri karena baru bergabung delapan tahun setelah kelompok itu berdiri, tetapi puncak kejayaan Ngesti Pandowo ada pada masa setelah ia direkrut. Atas jasanya tersebut, kalangan seniman Ngesti Pandowo mengikutsertakan Nartosabdo sebagai salah satu pendiri.
Baca juga: Wayang Orang, Seni Pertunjukan Teater Tradisional Jawa
Melihat potensi luar biasa Nartosabdo, Sastrosabdo menyarankannya untuk tak berhenti menjadi seniman karawitan yang dari segi finansial kurang menghasilkan. Atas dorongan itu, Narto Sabdo lalu mendalami pedalangan yang mayoritas dipelajarinya secara otodidak. Ia belajar, baik melalui buku maupun pada dalang Ki Pujosumarto dan Ki Wignyo Sutarno.
Terus berkembang, Nartosabdo pun menerima job pentas wayang kulit dari berbagai pihak. Sastrosabdo mengizinkan Nartosabdo mengambil job selama itu dilakukannya setelah pertunjukan Ngesti Pandowo selesai.
Lewat kemampuan mendalang yang semakin terasah, nama Nartoabdo kian masyhur. Berbeda dengan sebagian besar dalang saat itu yang ajek pada pakem, pertunjukan Narto Sabdo lebih lentur. Ia pun dikenal akan banyolannya pada setiap pentas. Namun, rupanya gaya tersebut yang ditunggu-tunggu penonton. Pertunjukan begitu hidup dan tak membuat kantuk.
Ia pun berperan dalam membuat seni pertunjukan wayang kulit lebih profesional. Atas jasanyalah kemudian terbentuk standar bayaran uang dalam sekali pentas. Kala itu, bisa dibilang Narto Sabdo ialah dalang terkaya di Indonesia. Ia memiliki gamelan dan wayang sendiri, serta kendaraan untuk transportasi. Saat itu ia biasa menerima imbalan Rp 500.000.
Nartosabdo juga mampu menyesuaikan diri di mana pun dia tampil, termasuk dengan gaya Solo ataupun gaya Yogyakarta, yang sejatinya berbeda. Saat bermain di daerah Yogyakarta, ia biasa mengenakan surjan dan belangkon dengan mondol. Di Solo, dia memakai beskap dengan belangkon tanpa mondol. Di tempat lain, terkadang ia mencampur kedua gaya daerah itu.
Ki Nartosabdo memang menguasai gaya Solo maupun gaya Yogyakarta. Namun, dia juga sering tampil dengan gending-gending gaya semarangan dengan pelog tinggi. Lewat humornya, dia juga mampu menghidupkan keakraban antara dalang dan penonton. Sebelumnya, wayang kulit tak boleh ada guyonan.
Baca juga: Peter Smith, Jatuh Cinta pada Gamelan saat Pandangan Pertama
Dalam dunia pedalangan, Ki Nartosabdo banyak melakukan pembaruan. Selain banyolan, ia juga banyak menciptakan lakon-lakon carangan. Dari kreasinyalah, tercipta lakon-lakon banjaran yang mengisahkan satu tokoh tertentu dari lahir hingga akhir hidupnya.
Sebagai dalang pembaru, Narto Sabdo tak hanya memahami pakem, tetapi juga menguasai pengetahuan-pengetahuan di luar pakem, termasuk terkait sosial politik. Guyonan-guyonan yang disampaikannya dalam pertunjukan terkadang berisi program-program pemerintah, juga aspirasi-aspirasi pembangunan.
Popularitas Narto Sabdo mencapai puncaknya pada 1970-an. Pertunjukan wayangnya selalu disesaki penonton. Pada 1978, ia dinobatkan sebagai “Dalang Kesayangan”.
Di balik ketenarannya, banyak juga pihak yang tak setuju dengan caranya mendalang yang disertai banyolan. Pada masa itu, beberapa dalang wayang kulit lain menilainya telah menyimpang dari pakem.
Meski demikian, ada juga suara-suara dari pencinta wayang yang tak mempermasalahkan hal tersebut. Pasalnya, apa yang dilakukan Narto Sabdo merupakan bagian dari pengembangan pertunjukan wayang kulit untuk dapat terus dicintai masyarakat.
Satu hal yang menarik, meski melakukan pembaruan, Narto Sabdo sendiri tidak merasa dirinya menyimpang dari pakem. Ia mengerti benar apa itu pakem. Ia melucukan hanya apa yang bisa dilucukan. Ia tidak melucukan apa yang tidak pantas untuk dilucukan.
Berakar dari seni karawitan, Narto Sabdo juga menghasilkan banyak karya gending hingga mencapai ratusan. Ia sangat produktif menghasilkan karya gending.
Terbuka terhadap perkembangan, musik-musik gubahannya pun beragam. Salah satunya, beliau mengadopsi ritme dangdut sehingga muncul lelagon dangdut. Terkadang gending-gending lama atau tradisi itu diubah menjadi gending-gending pakeliran untuk mengiringi wayang kulit.
Baca juga: Gamelan Nusantara: Jawa, Sunda, dan Bali
Ki Nartosabdo tidak hanya menguasai dialog dan gending, tetapi juga satu kesatuan utuh dalam pertunjukan wayang kulit, termasuk tata panggung. Artinya, ia mampu mengemas sedemikian rupa sehingga membuat pertunjukan benar-benar patut dinikmati, termasuk mampu mendalang baik di depan maupun belakang kelir.
Di kalangan para dalang, Ki Narto Sabdo dianggap sebagai guru serta empunya pedalangan dan karawitan. Salah satu dalang ternama saat ini, yaitu Ki Manteb Soedharsono mengakui bahwa Ki Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan sampai saat ini.
Pengaruh Ki Narto Sabdo sangat besar bagi perkembangan dunia pedalangan wayang kulit, termasuk bagi para dalang generasi penerus. Ki Narto Sabdo berperan memadukan gagrak Yogyakarta dan gagrak Surakarta sehingga menjadi gaya semarangan. Di samping itu, gending-gendingnya banyak dipakai oleh dalang era sekarang. Baik itu gending untuk pakeliran, untuk dolanan, maupun lagu-lagu untuk goro-goro.
Sesungguhnya, adanya lagu-lagu campursasi dalam bagian gara-gara yang seperti sudah menjadi “keharusan” dalam pertunjukan wayang kulit saat ini dimulai oleh Ki Nartosabdo. Sebelumnya, bahkan adegan gara-gara tidak harus ada dalam sebuah pertunjukan. Ia menggunakan adegan ini untuk mengenalkan lagu-lagu ciptaannya kepada para penonton.
Sejak saat itu, penonton pertunjukan wayang kulit selalu gending-gending dengan lagu-lagu klasik maupun dolanan yang dibawakan melalui dialog para punakawan. Perkembangan selanjutnya adalah hadirnya adegan libukan. Melalui dialog tokoh Limbuk dan Cangik, hadir pula gending-gending hiburan.
Narto Sabdo juga mendirikan kelompok karawitan di Semarang bernama Condong Raos yang elemen utamanya ialah pengrawit dari Ngripto Laras, Gombang, Boyolali. Satu rumahnya dijadikan semacam pedepokan. Di situlah tempat berkumpulnya orang-orang yang mau menyatukan rasa. Mereka cocok satu sama lain.
Pada 7 Oktober 1985, di rumahnya di Jalan Anggrek X/7 Semarang, pukul 07.45, Nartosabdo meninggal pada usia 60 tahun. Ia dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bergota, Semarang. Ia meninggalkan istri bernama Tumini. Beberapa bulan sebelumnya, ia memang sudah sakit. Namun, pentasnya di kantor gubernur, Semarang, pada 16 September 1985, masih bisa membuat para penonton terpingkal-pingkal.
Kepergian Nartosabdo menjadi kehilangan besar bagi dunia pedalangan. Sebagai dalang pembaru yang berpengaruh besar pada dunia pedalangan saat ini, Ki Narto Sabdo mewariskan pakem yang ia ciptakan sendiri dengan sentuhan humor dengan tanpa mengubah esensi dari nilai tradisi wayang kulit itu sendiri.
Baca juga: Wayan Lotring, Seniman Pembaru Gamelan Bali