1001indnesia.net – Tak diragukan lagi, wayang kulit purwo merupakan salah satu seni-budaya Indonesia paling populer dunia. Dikenalnya wayang di mancanegara tak lepas dari kiprah para dalang. Salah satunya adalah Ki Anom Suroto yang aktif mendalang, baik di dalam maupun di luar negeri. Sampai akhir abad ke-20, Ki Anom Suroto merupakan satu-satunya dalang yang pernah menggelar pertunjukan di lima benua.
Wayang bisa jadi merupakan seni-budaya Indonesia yang paling banyak dikaji para peneliti. Seperti yang diungkapkan A. Teeuw dalam pengantar buku Nusa Jawa: Silang-silang Budaya karya Denys Lombard, sudah dua abad Pulau Jawa memesona peninjau dan peneliti, baik asing maupun dari Indonesia sendiri. Selain itu, bibliografi beranotasi yang disusun oleh Clara V. Groenendael mengungkap, sudah ada lebih dari 1000 tulisan mengenai wayang (Kayam, 2001).
Populernya wayang kulit tampak dari masih banyaknya mahasiswa asing yang datang meneliti wayang. Beberapa di antaranya bahkan kemudian menetap di Indonesia dan aktif menggeluti seni pertunjukan wayang.
Dalam sebuah pertunjukan wayang, peneliti asal Amerika Serikat, Kathryn Anne Emerson, menyebut bahwa pertunjukan wayang di negaranya selalu dipenuhi penonton, meski mereka harus membayar tiket dengan harga sekitar Rp800.000. Menurut Emerson, selain keindahan seninya, nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam wayang menjadi daya tarik utama bagi para penonton di luar negeri.
Dikenalnya wayang oleh di mancanegara tidak lepas dari kiprah para seniman dunia pakeliran yang aktif melakukan pertunjukan, baik di dalam maupun di luar negeri. Tak hanya dari segi kuantitas, para dalang juga terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pertunjukannya. Selain berusaha keras untuk meningkatkan keindahan pertunjukan, para dalang juga berkreasi agar wayang tetap bisa diminati dan dinikmati masyarakat.
Salah satu dalang kondang yang aktif menggelar pertunjukan wayang adalah Ki Anom Suroto. Dalang yang lahir di Desa Juwiring, Klaten, Jawa Tengah, pada 11 Agustus 1948 ini sudah digemari masyarakat pecinta wayang sejak usia muda. Sejak usia 28 tahun, pertunjukan yang digelarnya selalu mendapat tanggapan yang penuh antusias dari penonton (Kayam, 2001).
Ki Anom sendiri mengakui, RRI menjadi salah satu media yang melambungkan namanya. Ki Anom mulai mendalang di RRI sejak 1968 setelah melalui seleksi yang ketat. Selain itu, menurut KI Anom, RRI juga sangat membantunya dalam meningkatkan kemampuan, keterampilan, dan pengetahuannya dalam mendalang.
Hal tersebut terutama karena RRI memiliki standar yang tinggi bagi para dalang. Tidak setiap dalang bisa menggelar pertunjukannya melalui media RRI. Hanya dalang yang telah lulus tes seleksi yang bisa. Selain itu, stasiun radio milik pemerintah itu memiliki kelompok pengrawit yang sangat mumpuni dan sebagian berasal dari Keraton Surakarta.
Ki Anom mulai belajar seni pedalangan sejak umur 12 tahun dari ayahnya sendiri, Ki Sadiyun Harjadarsana. Selain itu, ia pun banyak belajar dari dalang-dalang lainnya, baik secara langsung maupun tak langsung.
Selain belajar dari para dalang senior, Ki Anom juga pernah menimba ilmu di Kursus Pedalangan yang diselenggarakan Himpunan Budaya Surakarta (HBS), belajar secara tidak langsung dari Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN), Pawiyatan Kraton Surakarta, dan bahkan pernah juga belajar di Habiranda, Yogyakarta. Saat belajar di Habiranda, ia menggunakan nama samaran Margono.
Hingga akhir abad ke-20, Ki Anom merupakan satu-satunya dalang yang pernah mengggelar pertunjukan wayang di lima benua. Di antaranya, pada 1991, Ki Anom mendalang di Amerika Serikat dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS). Ia pernah juga mendalang di Jepang, Spanyol, Jerman Barat, Australia, dan banyak negara lainnya.
Khusus untuk menambah wasasan pedalangan mengenai dewa-dewa, Dr. Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi, pernah mengirim Ki Anom ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani.
Baca juga: Ki Manteb Soedharsono, Kiprah Si “Dalang Setan”