Inspirasi Perdamaian dari Maluku

1440
Inspirasi Perdamaian dari Maluku
Tarian Dansa Tali diperagakan pada acara “Panas Pela” (mempererat ikatan kekerabatan) antara empat negeri (desa), yaitu Waai, Soya, Kaibobu, dan Morella, di pelataran Masjid Negeri Hausihu Morella, Pulau Ambon, Maluku, Selasa (5/8/2014). (Foto: beritadaerah. co.id)

1001indonesia.net – Maluku merupakan sebuah daerah kepulauan di Indonesia timur yang sangat indah. Sudah sejak lama, kehidupan masyarakat Maluku menjadi inspirasi perdamaian dan simbol toleransi dalam keragaman agama di Indonesia. Ada dua agama besar di Maluku, yakni Islam dan Kristen. Orang Maluku menyebut Salam untuk Islam dan Sarane untuk Nasrani atau Kristen.

Secara sosial-budaya, kehidupan masyarakat Maluku masih terikat dalam garis kesukuan dan marga. Beberapa marga identik dengan agama tertentu, tetapi beberapa marga yang lain justru berbagi, sebagian menjadi Islam dan sebagian yang lain menjadi Kristen.

Untuk menghindari terjadinya konflik karena alasan agama, masyarakat Maluku memiliki sistem budaya yang dianggap dan diharapkan mampu meredam kemungkinan terjadinya
konflik. Mereka memiliki beberapa tradisi yang bisa merekatkan perbedaan melalui kerja sama dan ikatan persaudaraan. Beberapa tradisi itu antara lain pela gandong, masohi, badati, dan maano.

Namun, sistem budaya yang diharapkan mampu meredam segala perbedaan itu tidak mampu menahan konflik sosial yang pecah pada 19 Januari 1999. Konflik yang dimulai karena sebuah pertengkaran kecil antara pemuda Batu Merah yang muslim dan Mardika yang Kristen kemudian berkembang menjadi konflik saling bunuh dan saling menghancurkan dalam skala yang sulit dibayangkan sebelumnya.

Konflik besar ini terjadi dalam beberapa fase dengan skala yang cukup luas. Ketegangan antara dua kelompok agama ini terus terjadi hingga ada kesepakatan Malino 2 yang
ditandatangani pada 2002. Setelah kesepakatan itu, di beberapa tempat sebenarnya masih terjadi konflik, hanya saja sudah dalam skala yang lebih kecil.

Dalam melihat konflik Maluku, tidak ada orang yang mengira bahwa Maluku dan Ambon menjadi battle ground antara muslim dan Kristen dalam skala yang luas dan mengerikan.

Segregasi

Pada zaman kolonial, Maluku dan kota Ambon adalah daerah penting sebagai salah satu pusat perdagangan. Pemerintah kolonial di masa itu cenderung membuat kebijakan diskriminatif yang memberikan banyak keuntungan bagi penduduk Ambon yang beragama Kristen.

Pemerintah Belanda banyak mempekerjakan orang Kristen Ambon untuk administrasi dan juga kemiliteran. Sementara orang Ambon yang muslim, lebih terpinggirkan. Mereka tinggal di desa-desa dan dari segi pendidikan ada di bawah orang Ambon yang Kristen.

Pada zaman Orde Baru, gerak sebaliknya terjadi. Pemerintah memberikan akses kekuasaan kepada banyak kelompok muslim. Hal itu diakui oleh tokoh perdamaian, baik dari kelompok muslim maupun Kristen.

Pendeta Jack Manuputty dan Abidin Wakano menilai pemerintah kolonial di masa lalu telah
membangun segregasi berdasarkan agama di Maluku. Segregasi itu terus bertahan hingga Indonesia merdeka.

Pengelompokan itu terjadi tidak hanya di kampung-kampung yang identik dengan agama tertentu, tetapi juga di institusi pendidikan dan kantor-kantor pemerintahan. Pecahnya konflik 1999, salah satunya dipicu oleh pengelompokan semacam itu.

Pemerintah dianggap gagal membangun sistem inklusi sosial yang berkeadilan bagi kedua belah pihak. Kebijakan yang dibangun justru menimbulkan permusuhan dan dianggap meminggirkan satu kelompok tertentu.

Ketika konflik meletus di Maluku banyak orang kaget dan tidak mengira bahwa skalanya menjadi sangat luas.

Bagi banyak pihak, khususnya di level nasional, konflik itu merupakan perang antara Muslim dan Kristen. Para tokoh agama yang ada di Ambon pada awalnya terjebak dalam kondisi itu karena masyarakat betul-betul terpecah dalam kelompok Muslim dan Kristen. Namun, para aktivis setempat kemudian mencoba menjaga jarak sehingga mereka berpandangan bahwa sejatinya konflik itu bukan masalah agama.

Tokoh-tokoh lintas agama dari seluruh kawasan Maluku saling berkoordinasi untuk merajut
perdamaian yang tengah koyak. Bekerja sama dengan pemerintah pusat mereka meniti perdamaian. Hasilnya, kini Maluku benar-benar menjadi simbol toleransi yang amat penting dan menjadi inspirasi perdamaian, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia. Duta besar Vatikan untuk Indonesia, Antonio Guido Filipazzi mengakui itu.

Keragaman tidak membuat mereka saling memusuhi. Pengalaman itu tentu sangat inspiratif bagi masyarakat dunia yang dirundung konflik karena perbedaan agama.

Pela Gandong

Kemampuan masyarakat Maluku untuk mau hidup bersama dalam keragaman ditopang oleh para tokoh masyarakat yang aktif memberikan teladan pendidikan toleransi. Berbagai kekuatan sosial yang mereka miliki kembali dihidupkan dan diaktifkan. Misalnya, tradisi pela gandong yang cukup terkenal di Maluku. Pela Gandong merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh dua negeri (kampung) atau lebih. Melalui Pela, mereka saling mengikat persaudaraan.

Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata “Pela” dan “Gandong”. Pela adalah suatu ikatan persatuan sedangkan gandong mempunyai arti saudara. Jadi pela gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara.

Tradisi Pela gandong adalah tradisi yang ada dalam masyarakat Maluku. Biasanya pela gandong dilakukan oleh dua negeri yang berlainan agama (umumnya Islam dan Kristen).

Misalnya, ikatan persaudaraan yang dilakukan oleh negeri Kailolo dan Tihulale yang
berada di Kabupaten Maluku Tengah pada tanggal 2 Oktober 2009 di hadapan Gubernur Maluku. Mereka saling mengangkat pela sebagai ikat saudara.

Hubungan antara Tihulale dan Kailolo bisa ditelusuri jauh ke masa lalu. Dalam perang Alaka kedua, ketika Belanda menyerang kerajaan Hatuhaha (Hulaliu, Kabau, Kailolo,
Pelau, dan Rumoni), Kapitan Tihulale membantu kerajaan Hatuhaha hingga membawa kemenangan dengan memukul mundur Belanda.

Peperangan inilah yang akhirnya mengikat Negeri Tihulale dengan Kelima negeri Hatuhaha, yaitu Hulaliu, Kabau, Kailolo, Pelau, dan Rumoni dalam satu hubungan Pela.

Keakraban antara Kailolo dan Tihulale ini diperlihatkan pada saat negeri Kailolo membangun Masjid Nan Datu, mereka mengundang masyarakat negeri Tihulale untuk membantu.

Undangan ini disambut dengan bantuan yang betul-betul konkret. Masyarakat negeri Tihulale datang dengan membawa sejumlah kayu dan papan yang dapat digunakan
untuk membangun masjid.

Sebaliknya, ketika negeri Tihulale membangun Gereja Beth Eden, warga negeri Kailolo pun menyumbang banyak keramik.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nine + 1 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.