1001indonesia.net – Masyarakat Desa Pasir Putih atau yang lebih dikenal dengan nama Mingar di Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, masih memegang teguh tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka. Salah satu tradisi warisan leluhur yang masih dilaksanakan hingga kini adalah Guti Nale.
Guti Nale merupakan tradisi menangkap atau mengambil Nale atau Nyale, sejenis cacing laut. Tradisi ini berlangsung pada akhir bulan Februari dan Maret. Nale memang hanya keluar pada sekitaran waktu itu saja.
Nale muncul di tiga titik sepanjang Pantai Mingar. Bagi masyarakat setempat, Nale si cacing laut memiliki beragam manfaat. Selain untuk dimakan, Nale juga berkhasiat sebagai obat dan digunakan juga untuk menyuburkan lahan pertanian. Bagi masyarakat setempat, kehadirannya menjadi perlambang kesejahteraan.
Tradisi ini sudah tua. Menurut tuturan lisan yang diwariskan turun-temurun, Guti Nale sudah dimulai sejak tahun 500 Masehi. Awalnya Nale berasal dari Duli, laut di Alor, tepatnya di Selat Merica. Dua pendatang bernama Srona dan Srani yang membawa Nale hingga ke kampung Mingar.
Srona dan Srani kemudian mengenalkan Nale kepada Belake dan Geroda (Suku Ketepapa) serta Belawa (Suku Ata Kabeleng). Berita baik ini kemudian diteruskan kepada seluruh masyarakat Mingar yang terbagi ke dalam delapan suku.
Srona dan Srani tinggal lama bersama masyarakat Mingar sambil memberitahukan bagaimana cara menangkap Nale, kewajiban dan pantangan ketika menangkap Nale, serta mewariskan cara berkomunikasi, memanggil, dan berpamitan dengan Nale.
Ada ritual khusus yang harus dilakukan sebelum mulai menangkap Nale. Beberapa waktu sebelum penangkapan, dilakukan upacara adat di ‘Korke Nale’ (Rumah Nale).
Dalam upacara ini akan terlihat Nale melata pada tiang kanan Korke. Ketika hari mulai gelap dan laut mulai surut, seluruh masyarakat akan menuju pantai. Mereka menunggu waktu penangkapan di pinggir pantai dengan membawa segala perlengkapan.
Sementara itu, tuan Nale (dari suku Ketepapa) akan mengamati kehadiran Nale di Benebong. Ketika saatnya tiba, ia akan memanggil seluruh masyarakat untuk turun ke laut. Segera setelah pemanggilan dari tuan Nale, masyarakat akan berhamburan ke laut untuk menangkap Nale.
Proses penangkapan akan selesai dalam waktu satu sampai dua jam sejak panggilan menangkap Nale oleh tuan Nale.
Turunnya hujan juga menjadi tanda bahwa penangkapan harus segera diakhiri. Merupakan suatu pantangan bila Nale terkena hujan. Menurut kepercayaan masyarakat Mingar, Nale akan berangsur-angsur menyusut (mencair) bila terkena hujan.
Pada hari terakhir, penangkapan akan ditutup dengan pamitan oleh tuan Nale dalam bahasa adat kepada Nale. Pamitan ini dimaksudkan agar Nale akan kembali lagi ke Mingar pada tahun berikutnya.
Di tahun 2019 ini, Pemerintah Kabupaten Lembata melalui Dinas Pariwisata menjadikan tradisi Guti Nale ini sebagai salah satu festival budaya. Festival yang merupakan acara kepariwisataan perdana di daerah ini berlangsung di Pantai Mingar pada 25-26 Februari 2019.
Festival Guti Nale menjadi pembuka dari serangkaian festival sepanjang tahun 2019 di Kabupaten Lembata, yang nanti akan ditutup dengan festival 3 Gunung.
Baca juga: Bau Nyale, Tradisi Maritim dari Nusa Tenggara Barat