1001indonesia.net – Kedekatan dengan alam menjadi ciri penting masyarakat Nusantara. Hal ini tampak dalam upacara Grebeg Tengger Tirto Aji yang dilakukan masyarakat Tengger. Ritual tahunan itu diselenggarakan sebagai penghormatan terhadap air.
Air merupakan elemen vital bagi kehidupan manusia. Air merupakan sumber kehidupan. Tanpa air, tidak ada kehidupan di muka bumi ini. Sebab itu, ada beragam tradisi di Nusantara yang mensakralkan mata air. Intinya, tradisi-tradisi tersebut berupaya untuk terus mengingatkan manusia untuk menjaga kelestarian sumber air.
Ritual untuk memuliakan air juga dimiliki masyarakat Tengger yang disebut Grebeg Tengger Tirto Aji. Ritual Grebeg Tengger dilaksanakan setahun sekali, menjelang upacara Yadnya Kasada.
Baca juga: Gunung Bromo, Pesona Alam dan Budaya Menjadi Satu
Kehidupan masyarakat Tengger memang sangat terkait dengan air. Hampir semua ritual adat selalu terkait dengan air, baik itu untuk pengobatan, pertanian, hingga upacara adat. Sebab itu, masyarakat setempat begitu menjaga sumber-sumber air di sekitarnya.
Berbagai aturan adat dibuat untuk mencegah kerusakan alam dari tangan manusia. Barang siapa yang kedapatan menebang pohon bisa dihukum berat. Di Desa Ngadas misalnya, orang yang terbukti menebang satu pohon diwajibkan menanam 1.000 bibit pohon sebagai gantinya. Bibit itu pun harus ia cari sendiri (Kompas, 05/05/2018).
Asal-usul Grebeg Tengger Tirto Aji sendiri terkait dengan mitos Dewi Mudrim, kakak Roro Anteng, istri Joko Seger. Perpaduan suku kata terakhir dari nama Roro Anteng dan Joko Seger ini yang lalu diabadikan menjadi nama Tengger.
Dewi Mudrim yang dikisahkan masih lajang ingin berbuat sesuatu bagi masyarakat Tengger. Ia kemudian bertapa di Gua Widodaren di Gunung Bromo. Selama bertapa, Sang Dewi terus menangis hingga suatu ketika Sang Hyang Widi meminta dia menghentikan semedinya.
Kala itu, Sang Hyang Widi meminta Dewi Mudrim untuk tidak lagi menangis dan mencari rembesan air matanya yang masuk ke dalam tanah. Alkisah, bila disiramkan ke tanah, air itu akan membuat tanah Tengger menjadi subur. Proses pencarian air itulah yang dinamakan grebeg.
Untuk memperingati peristiwa tersebut, setahun sekali masyarakat Tengger menggelar upacara di sekitar mata air tersebut. Awalnya, upacara ini digelar di Goa Widodaren. Lokasinya sekitar satu kilometer dari Gunung Bromo.
Namun, sejak 2013, sesuai dengan kesepakatan para sesepuh masyarakat Suku Tengger, Grebeg Tengger dialihkan ke sumber mata air atau Sendang Widodaren di Taman Rekreasi Wendit. Masyarakat umum biasa menyebut mata air tersebut sebagai Sumber Mbah Gimbal dan Mbah Kabul. Masyarakat Tengger meyakini sumber air di Wendit merupakan resapan sumber yang sama di Goa Widodaren di Bromo.
Di dalam ritual tersebut, ada penampilan Tari Bedoyo Loh Suruh, dibawakan oleh 7 penari yang membawa kendi. Tari tersebut menggambarkan upaya Dewi Mudrim mencari air suci yang mengalir dari Gunung Bromo.
Puncak prosesi adalah pengambilan air suci yang ditempatkan ke dalam 7 kendi yang dibawa penari. Air dalam kendi tersebut lantas dibagikan kepada perwakilan 7 desa untuk dibawa ke daerah masing-masing. Nantinya, air suci tersebut digunakan untuk beragam kepentingan.
Tradisi Grebeg Tengger ini masih lestari sampai sekarang. Alangkah lebih baik jika ritual ini tidak hanya dikembangkan sebagai aset pariwisata semata, seperti yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat, tetapi juga dapat menginspirasi masyarakat luas mengenai pentingnya merawat alam.