1001indonesia.net – Alkisah wabah penyakit menyerang Mejayan di Kawedanan Caruban, Kabupaten Madiun. Banyak penduduk yang terkena. Begitu parahnya wabah tersebut hingga ada ungkapan, “Pagi sakit, sore harinya meninggal.” Cerita itu terekam dalam kesenian tradisional khas Madiun bernama Dongkrek.
Kesenian Dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di Onderdistrik (Kecamatan) Mejayan, Kawedanan Caruban, Kabupaten Madiun. Kala itu Raden Ngabehi Lo Prawiradipura menjadi Palang atau Demang (jabatan setingkat kepala desa) yang membawahi lima desa.
Menurut cerita turun-menurun, kala wabah penyakit melanda Mejayan, Raden Ngabehi Lo Prawiradipura sangat prihatin dengan keadaan yang melanda warganya.
Sebagai pemimpin, keadaan warga di wilayahnya tentu menjadi tanggung jawabnya. Sebab itu, ia mencari cara untuk mengatasi wabah penyakit yang menyerang warganya. Hingga akhirnya ia meminta bantuan pada Yang Maha Kuasa dengan bertapa di wilayah gunung kidul Caruban.
Akhirnya, ia mendapatkan wangsit untuk membuat semacam tarian atau kesenian sebagai tolak bala. Kesenian tari itu ternyata ampuh mengusir wabah penyakit dari Mejayan.
Nama “Dongkrek” berasal dari suara musik pengiring
Nama Dongkrek berasal dari suara alat musik pengiring yang digunakan, yaitu dung dan krek.
Bunyian dung berasal dari beduk atau kendang. Sedangkan bunyi krek berasal dari alat musik kayu berbentuk persegi. Pada salah satu sisi alat musik itu terdapat tangkai kayu yang bergerigi sehingga saat digesek akan berbunyi krek.
Dalam perkembangannya, digunakan pula alat musik lainnya berupa gong, kenong, kentongan, kendang, dan gong berry.
Mengisahkan pertarungan sengit
Kesenian ini berupa tari fragmen satu babak yang mengisahkan pengusiran roh halus. Lakonnya terdiri asas sekelompok buto kala, orang tua sakti, dan dua perempuan paruh baya.
Dua perempuan yang melambangkan warga desa itu dikepung oleh para pasukan buto kala. Lalu muncul sesosok lelaki tua dengan tongkatnya berupaya untuk menyelamatkan kedua perempuan dari gangguan roh halus. Terjadilah pertarungan sengit yang dimenangkan oleh orang tua sakti, dan dimenangkan oleh orang tua tersebut.
Setelah dikalahkan, para buto kala takluk dan mengikuti kehendak orang tua sakti tersebut. Orang tua sakti didampingi dua perempuan yang telah diselamatkannya menggiring pasukan buto kolo keluar dari Desa Mejayan.
Dengan demikian, sirnalah pagebluk yang menyerang rakyat Desa Mejayan.
Sempat dilarang
Setelah mengalami masa kejayaan dari tahun 1867-1902, pemerintah kolonial Belanda sempat melarang kesenian ini untuk pentas di panggung terbuka.
Demikian pula saat Jepang berkuasa, semua tradisi budaya lokal dihentikan. Kesenian Dongkrek juga termasuk di dalamnya.
Dibangkitkan kembali
Kesenian Dongkrek dibangkitkan kembali oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi Jawa Timur pada 1973. Saat itu, Pemerintah setempat berusaha merekonstruksi sejarah dan pakem kesenian Dongkrek melalui penelusuran dan studi dokumentasi.
Selain sebagai ritual tolak bala di Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Dongkrek telah berkembang sebagai seni pertunjukan. Kesenian ini dikembangkan sebagai hiburan rakyat dengan penambahan alat musik dan penari latar agar lebih menarik.
Pada 2009, kesenian Dongkrek ditetapkan sebagai kesenian khas serta aset kekayaan budaya milik Kabupaten Madiun. Seni pertunjukan tradisional ini dipentaskan pada berbagai pagelaran budaya sebagai kekayaan warisan leluhur yang dimiliki Kabupaten Madiun.
Di antaranya pada 2005, ketika Kelompok Seni Dongkrek Condro Budoyo, mendapat kesempatan untuk turut mengisi acara Gita Nantya Nusantara atau Pawai Budaya Nusantara di Istana Negara.
Pada 2014, Dongkrek ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia dari Provinsi Jawa Timur.
Baca juga: Barong Ider Bumi, Upacara Tolak Bala Masyarakat Desa Kemiren