Cetbang, Teknologi Senjata Api Andalan Majapahit

14095
Cetbang
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kerajaan Majapahit telah memiliki senjata api model meriam bernama cetbang. (Foto: boombastis.com)

1001indonesia.net – Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, kerajaan di Nusantara sudah memiliki senjata api. Namanya cetbang (Cet-Bang). Senjata sejenis meriam ini diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293–1527 M) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara setelahnya.

Bentuk senjata ini berbeda dengan meriam Eropa dan Timur Tengah pada umumnya. Meriam yang terbuat dari perunggu ini memiliki kamar dan tabung peluru di bagian belakang. Sebab itu, cetbang juga disebut meriam coak.

Koleksi cetbang di Museum Talaga Manggung. (Foto: Museum Talaga Manggung)

Diperkirakan, teknologi senjata bubuk mesiu masuk ke Majapahit saat invasi tentara Kubilai Khan di bawah pimpinan Ike Mese yang bekerja sama dengan Raden Wijaya saat menggulingkan Kertanagara pada 1293.

Ketika itu, tentara Mongol menggunakan meriam (pao) ketika menyerang pasukan Daha. Dari situlah orang Jawa kemudian mengembangkan meriamnya sendiri.

Pada Prasasti Sekar disebutkan cetbang diproduksi di Rajekwesi, Bojonegoro, sementara mesiu utamanya diproduksi di Swatantra Biluluk.

Ada dugaan bahwa kerajaan Majapahit mendominasi Nusantara karena memiliki teknologi unik menempa perunggu serta keahlian produksi massal melalui industri rumahan yang digabungkan ke gudang persenjataan utama.

Kerajaan Majapahit juga memelopori pembuatan dan penggunaan senjata api secara massal sehingga menjadi bagian umum dari peperangan saat itu. Meriam umum digunakan oleh armada laut kerajaan Majapahit, para bajak laut, serta kerajaan lainnya di Nusantara.

Ukuran cetbang Majapahit bervariasi, antara 1 hingga 3 meter. Meriam yang berukuran 3 meter biasanya ditempatkan di kapal-kapal perang Majapahit yang disebut Jong Majapahit.

Baca juga: Kapal Jung Jawa, Teknologi Perkapalan Nusantara

Namun, sebagian besar senjata ini memiliki kaliber yang kecil (30 hingga 60 mm). Meriam ini ringan dan mudah dipindahkan, sebagian besar dapat dibawa dan ditembak oleh satu orang.

Meriam ini dipasang di garpu putar (cagak). Bagian bawahnya dipasang ke lubang atau soket di kota mara (dinding atas) kapal dan tembok benteng. Sebuah popor dari kayu dimasukkan ke lubang bagian belakang meriam dengan rotan.

Panglima angkatan laut Majapahit yang terkenal menggunakan cetbang pada armada Majapahit adalah Mpu Nala. Kesohoran Mpu Nala pada masa Majapahit diketahui melalui Prasasti Sekar, Prasasti Manah I Manuk (Bendosari), Prasasti Batur, Prasasti Tribhuwana, dan Kakawin Nagarakretagama yang menyebutnya sebagai Rakryan Tumenggung (panglima perang).

Dalam Kakawin Nagarakretagama, Mpu Nala mendapat gelar “Wiramandalika”. Gelar ini disematkan karena jasanya kepada perluasan wilayah Majapahit. Dalam wirama 72 bait 2-3 menyebutnya sebagai keturunan orang cerdik yang mampu menghancurkan musuh di Dompo (Nusa Tenggara Barat).

Cetbang di Museum Bali. (Foto: Warung Sains Teknologi)

Cetbang dipasang sebagai meriam tetap atau meriam putar. Yang berukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut penjajap dan juga lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal.

Pada zaman itu sampai abad ke-17, prajurit laut Nusantara bertempur di panggung di kapal (balai). Dengan peluru scattershot, meriam seperti ini pasti sangat efektif saat ditembakkan pada kumpulan prajurit.

Saat kekuasaan Majapahit memudar, banyak ahli meriam perunggu yang tidak puas dengan kondisi di kerajaan di Jawa yang lari ke Brunei, Sumatra, Semenanjung Malaya, dan kepulauan Filipina. Hal tersebut menyebabkan meluasnya penggunaan meriam cetbang. Meriam ini digunakan terutama pada kapal dagang untuk perlindungan dari bajak laut.

Menurut catatan Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar pedagang Jawa. Orang-orang Jawa di Malaka membuat meriam sendiri secara swadaya. Saat itu, di kapal dagang, keberadaan meriam sama pentingnya dengan layar.

Saat itu, hampir seluruh kerajaan di kawasan ini telah memiliki meriam. Pada 1511, di Malaka, Afonso de Albuquerque bersama pasukannya merebut 3.000 buah meriam, 2.000 dari perunggu dan 1.000 dari besi, yang teknik pembuatannya sangat bagus tak tertandingi, tidak pula oleh Portugis.

Kala itu, orang Portugis menyebut meriam jawa dengan nama Berço, istilah yang juga digunakan untuk menyebut meriam putar isian belakang (beech-loading swivel gun) buatan mana pun. Sementara orang Spanyol menyebutnya sebagai Verso.

Pada abad ke-16 ini pula, pengaruh ilmu teknik dari Eropa masuk ke ranah pembuatan meriam. Pengaruh itu datang terutama dari Kesultanan Turki Ottoman.

Sampai masa Kesultanan Demak, cetbang Majapahit tetap digunakan dan dilakukan improvisasi. Meriam ini digunakan pada invasi Kerajaan Demak ke Malaka. Bahan baku besi untuk pembuatan meriam jawa tersebut diimpor dari daerah Khurasan di Persia utara sehingga terkenal dengan sebutan wesi kurasani.

Pada 1528, Sultan Trenggono dari Demak menghadiahi Fatahillah sebuah meriam besar bernama Ki Jimat atas keberhasilannya menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa. Pembuatan meriam besar ini melibatkan sekelompok ahli teknik dari Turki dan Aceh yang dipimpin seorang mualaf Portugis bernama Coje Geinal (Khoja Zainal) dari Algarve.

Meriam Ki Amuk atau Ki Jimat di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama. (Foto: Dirjen Kebudayaan RI)

Pada masa setelah Majapahit, meriam turunan cetbang di Nusantara (terutama di daerah Sumatra dan Malaya) umumnya terbagi dalam dua tipe, yaitu lela dan rentaka.

Meriam lela berukuran lebih kecil daripada meriam Eropa, namun modelnya menarik. Banyak digunakan di kesultanan-kesultanan Melayu baik di semenanjung Malaya, Sumatra maupun Kalimantan.

Meriam Lela digunakan di atas kapal-kapal dagang dan kapal perang kerajaan untuk menghalau bajak laut dan juga dalam perang maritim.

Meriam lela juga digunakan dan dibunyikan pada saat upacara, misalnya dalam pengangkatan seorang raja, menerima tamu penting, melamar calon pengantin, dan menghormati kematian orang terpandang.

Koleksi meriam lela di Museum Radya Pustaka Solo. (Foto: Aroengbinang)

Adapun rentaka merupakan istilah bahasa Melayu untuk jenis lela yang berukuran kecil, berlaras panjang, dan terbuat dari besi. Istilah ini untuk membedakan dengan lela, versi ukuran normalnya.

Rentaka banyak digunakan pada abad ke-16 di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Senjata ini berupa meriam kecil yang berlubang laras halus (smoothbore) dan diisi dari lubang moncong laras (muzzle loading), namun yang paling awal diisi dari belakang (breech-loaded).

2 COMMENTS

  1. Hello, I have a bronze cannon that is breach loaded and has a dragon head. Looks to be of this style of cannon. would you like to see it and provide an opinion on it?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

10 − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.