1001indonesia.net – Candi Muara Takus merupakan peninggalan peradaban Buddha dari masa kerajaan Sriwijaya. Kompleks bangunan bersejarah ini terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau. Dengan jarak sekitar 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai ke tempat ini.
Candi Muara Takus merupakan satu-satunya peninggalan sejarah berbentuk candi di Provinsi Riau. Candi ini menjadi bukti bahwa agama Buddha pernah tumbuh dan berkembang di kawasan ini.
Ada dua pendapat mengenai asal nama Muara Takus. Ada yang mengatakan nama Muara Takus diambil dari nama sebuah anak sungai bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan.
Baca juga: Berselancar di Atas Sungai Kampar, Riau
Pendapat lain mengatakan, Muara Takus berasal dari kata muara yang berarti tempat berakhirnya aliran sungai di laut, dan takus yang berasal dari bahasa China: ta berarti besar, ku berarti tua, dan se berarti candi atau kuil. Jadi Muara Takus berarti candi tua besar yang terletak di muara sungai.
Di bagian luarnya, kompleks Candi Muara Takus dikelilingi tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer. Area yang dicakupnya sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan.
Sementara bagian dalamnya, kompleks candi dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter. Dalam kompleks tersebut terdapat empat bangunan, yaitu Candi Tuo, Candi Bungsu, Candi Mahligai atau Stupa Mahligai, dan Candi Palangka.
Secara bertahap candi ini dipugar sekitar tahun 1980 hingga tahun 1993. Sayang, bangunannya tak utuh lagi. Bagian puncak candi telah rusak dan batu-batunya telah banyak yang hilang. Pada sisi sebelah timur dan barat terdapat tangga. Menurut perkiraan, aslinya tangga tersebut dihiasi stupa. Namun kini, stupa itu sudah tidak ada lagi.
Bahan bangunan Candi terdiri dari batu pasir, batu sungai, dan batu bata. Sebagian besar bangunan candi terdiri dari batu bata. Tanah liat sebagai bahan batu bata untuk bangunan ini diambil dari Desa Pongkai, terletak kurang lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus.
Nama Pongkai kemungkinan berasal dari bahasa Tionghoa. Pong berarti lubang, sedangkan kai berarti tanah. Nama tersebut merujuk pada lubang tanah akibat penggalian tanah liat sebagai bahan baku pembuatan candi. Bekas lubang galian itu kini sudah tertutup oleh genangan waduk PLTA Koto Panjang.
Namun dalam bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan kata pangkali yang berarti sungai. Situs candi ini memang terletak di tepian sungai.
Selain empat bangunan yang telah disebutkan, di dalam kompleks Candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Di luar kompleks candi, terdapat pula reruntuhan bangunan yang terbuat dari batu bata, meski belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Baca juga: Sriwijaya, Kerajaan Maritim di Nusantara