Bom Bali dan Respons Orang Bali terhadap Aksi Terorisme

2176
Bom Bali dan Respons Orang Bali terhadap Aksi Terorisme
Reruntuhan akibat ledakan Bom Bali II. (Foto: Tribun-Bali.com)

1001indonesia.net – Peristiwa peledakan Bom Bali terjadi pada 12 Oktober 2002 (Bom Bali I) di Sari Club, Paddy’s Pub, dan Kantor Konsulat Amerika Serikat. Korban meninggal tercatat sebanyak 202 orang dan melukai sekitar 209 orang. Di samping itu, 4 buah bangunan roboh, 20 bangunan rusak berat, 27 mobil rusak berat, dan 7 motor rusak berat.

Kasus peledakan bom kembali terjadi pada 1 Oktober 2005 (Bom Bali II) di tiga tempat, yaitu Rajas’s Cafe Kuta Square, Menega Café, dan Cafe Nyoman Jimbaran. Kejadian ini menyebabkan 23 orang meninggal dan 196 orang luka.

Peristiwa bom Bali membawa akibat langsung pada Pulau Bali. Kunjungan wisata menurun hampir 80% beberapa hari pascaperistiwa tersebut. Penurunan terjadi karena beberapa negara, seperti Jepang, Inggris, Amerika, Singapura, Taiwan, dan Australia menerapkan larangan berkunjung ke Indonesia, khususnya Pulau Bali bagi warga negara mereka. Hingga muncul istilah “sebelum bom” yang merujuk pada masa kejayaan pariwisata Bali.

Dalam bidang sosial, muncul keretakan antara kelompok masyarakat dan kelompok lain karena adanya sikap saling curiga. Hal ini terlihat dari pemberitaan mengenai penyelidikan ke beberapa pesantren dan tempat yang dicurigai. Harmoni sosial yang tercipta sebelumnya terganggu.

Respons atas Bom Bali

Orang Bali pun mengerti bahwa tindakan terorisme ini juga mengarah ke mereka karena banyak orang Bali yang turut menjadi korban. Namun, meski orang Bali mengutuk tindakan kekerasan ini, seperti yang diungkapkan oleh Annette Hornbacher, respons
orang Bali berbeda dengan tanggapan masyarakat Barat (Hornbacher 2009: 34–53).

Menanggapi teror yang terjadi pada 2001, Presiden Bush menegaskan bahwa tindakan kekerasan tersebut bukan hanya menyerang Amerika Serikat, tetapi nilai-nilai peradaban
dan meminta masyarakat dunia untuk bersatu membasmi kejahatan ini.

Masyarakat Barat memahami perang melawan terorisme sebagai perang Kebaikan melawan Kejahatan. Dan, Kejahatan hanya bisa dilawan dengan kekuatan senjata. Nilai-nilai kemanusiaan hanya bisa dipertahankan melalui “perang suci” melawan para ekstremis.

Pandangan ini berangkat dari pemahaman monoteisme yang memahami Tuhan Pencipta hanya menciptakan kebaikan saja. Segala sesuatu yang buruk berasal dari Kejahatan (Evil) yang merupakan lawan dari Kebaikan. Pemahaman teodisi ini menjadi basis tindakan “perang suci” melawan kejahatan, termasuk di dalamnya terorisme.

Namun, orang Hindu Bali memiliki pemahaman yang berbeda. Masyarakat Hindu Bali tidak mengenal konsep Tuhan sebagai pencipta segala kebaikan, juga konsep Kejahatan absolut dan peperangan sebagai penyelamatan akhir.

Perbuatan buruk yang dilakukan leak misalnya, tidak dipahami sebagai Kejahatan transenden yang telah mengendalikan pikiran manusia, tetapi sebagai sikap banal manusia, seperti sikap iri hati. Kekuatan yang dimiliki leak, yang ia gunakan untuk melakukan kejahatan, secara moral bernilai netral.

Pemahaman ini terkandung dalam ritual drama Calonarang. Pada drama ini, Rangda yang membawa bencana wabah penyakit dan kehancuran pada masyarakat harus diseimbangkan melalui pertarungan dengan Barong. Keduanya dimainkan oleh penari yang
mengenakan topeng dan kostum.

Poin penting dalam pertarungan sakral ini adalah bahwa pertarungan ini tidak ditujukan untuk menghancurkan Rangda sebagai perwujudan dari Kejahatan atau sebagai penyelamatan selamanya dari bencana yang terjadi, tetapi sebagai keseimbangan sementara pada dua kekuatan yang bertentangan demi keberlangsungan kehidupan
manusia.

Artinya, Rangda dan Barong adalah dua kekuatan yang dimiliki dunia yang meski saling berlawanan, keduanya diperlukan demi keseimbangan dunia. Dari sudut pandang Hindu Bali, Rangda sama sucinya dengan Barong, karena itu tidak bisa dikatakan sebagai
Kejahatan seperti dalam pandangan monoteis. Keduanya bersifat sakral dan menjadi objek pemujaan.

Bom Bali dan Respons Orang Bali terhadap Aksi Terorisme
Barong dan Randa dimainkan dalam ritual drama Calonarang. Keduanya dimainkan oleh penari yang mengenakan topeng dan kostum. (Foto: Ida Bagus Putra Adnyana, Bali: Ancient Rites in the Digital Age (Indonesia: BAB Publishing, 2016), h. 119)

Pandangan ini menjadi dasar bagaimana sikap masyarakat Bali terhadap teror Bom Bali. Hornbacher menyebut sikap hidup (etos) orang Bali bersifat kosmosentris. Berbeda dengan
etika antroposentris orang Barat yang menekankan manusia sebagai subjek dan agen tindakan, etos orang Bali menempatkan tanggung jawab manusia dalam lingkup alam semesta secara keseluruhan di mana tindakan manusia menjadi bagian darinya.

Implikasinya pada kasus bom Bali adalah bahwa penyelesaian terhadap kasus tersebut
tidak terbatas pada tindakan subjektif manusia untuk memaafkan atau menghukum pelaku teror semata, tapi meluas pada hubungan manusia dengan alam semesta. Manusia memiliki tanggung jawab tidak sebatas hanya pada sesama manusia, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam semesta.

Alih-alih mengadakan serangan balasan, masyarakat Bali mengadakan ritual penyucian, dan deklarasi perdamaian berlangsung hampir di semua wilayah pulau, terutama di
Kuta yang menjadi lokasi peledakan. Bagi orang Bali, langkah pertama yang harus diambil adalah mengembalikan keseimbangan melalui berbagai macam upacara keagamaan.

Intinya, ketika kekuatan “jahat” mengguncang keseimbangan, solusinya bukanlah menghancurkan kekuatan jahat itu dengan kekerasan yang hanya akan menambah masalah. Yang mereka lakukan adalah memperkuat kekuatan “baik” melalui berbagai ritual sehingga keseimbangan terjadi.

Hal ini membuat Bali tidak seperti daerah lain. Di Jawa, Maluku, Sumatra, dan Sulawesi, kekerasan atas nama agama akan memprovokasi tindakan balas dendam. Mayoritas masyarakat Bali tidak melakukannya.

Memang ada percikan-percikan tindakan balas dendam, tapi hanya dilakukan oleh
kelompok kecil yang langsung bisa ditangani karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat luas.

Sikap masyarakat Bali ini cukup mengejutkan, mengingat besarnya dampak yang diderita oleh masyarakat Bali akibat serangan bom yang terjadi dua kali.

Memperkuat kekuatan “baik” juga berarti introspeksi terhadap diri mereka sendiri. Orang Bali sering menanggapi musibah sebagai tanda bahwa mereka telah keluar dari dharma sehingga ketidakbaikan menjadi dominan dan hidup menjadi tidak lagi seimbang.

Musibah-musibah tersebut menjadi tanda bagi mereka untuk kembali pada dharma. Ritual-ritual dilakukan untuk meluruskan kembali setiap penyimpangan sehingga hidup kembali
seimbang. Dengan ini, kedamaian akan tercipta kembali.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

two × one =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.