Bedah Buku “Indonesia: Zamrud Toleransi” dan “Menghargai Perbedaan”

UIN Suska Riau

2030
Bedah Buku Zamrud Toleransi dan Menghargai Perbedaan di UIN Suska Riau

1001indonesia.net – Indonesia tidak hanya layak disebut zamrud khatulistiwa, tapi juga zamrud toleransi. Dikatakan zamrud toleransi karena kita bisa menemukan kebudayaan yang terbuka dan mampu menerima perbedaan dari ujung barat sampai ujung timur Nusantara.

Hal ini terungkap dalam acara bedah buku Indonesia: Zamrud Toleransi dan Menghargai Perbedaan: Pendidikan Toleransi untuk Anak seri kedua di UIN Suska Riau pada 11 April 2017.  Acara yang dimoderatori oleh Nurhasanah, MM ini menghadirkan 3 pembicara, yaitu Prof. Dr. H. Munzir Hitami, MA, Yudi Latif, PhD, dan Prof. Raihani, MED, PhD.

Munzir Hitami menyambut baik hadirnya buku pendidikan toleransi untuk anak. Rektor UIN Suska Riau ini menceritakan adanya relasi yang harmonis antaragama di Riau. Menurut Pak Munzir, kelebihan masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong.

Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya intoleransi. Di antaranya adalah adanya mental dogmatis yang dimiliki oleh kalangan masyarakat yang tidak terbiasa dengan diskursus Islam dan hanya memahami satu jenis penafsiran saja yang kemudian mereka anggap sebagai kebenaran mutlak.

Juga orang-orang yang “menyembah” atau mengkultuskan orang tertentu—seperti para wali—dan menganggap ucapan orang tersebut sebagai hukum/kebenaran yang tidak bisa dibantah. Sikap-sikap seperti ini kemudian akan menutup wacana rasional dan berpotensi menimbulkan sikap intoleransi.

Pembicara kedua, Yudi Latif, mengungkapkan betapa beragamnya bangsa Indonesia, baik dari segi agama, ras, adat-istiadat, suku-suku, partai politik, dan kelas sosial. Kemajemukan yang dimiliki Indonesia merupakan kekayaan sekaligus memberikan tantangan karena kompleksitas yang ada membuat sulitnya menemukan kehendak bersama.

Untungnya, kebudayaan-kebudayaan di Indonesia menjunjung nilai-nilai kebersamaan. Ada kearifan baik dalam ajaran agama maupun kebudayaan di Indonesia bahwa manusia bisa mencapai kebahagiaan jika mampu menjalin relasi dengan baik dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan sekitar.

Pembicara terakhir, Raihani mengungkapkan bahwa dua buku yang dibahas mengingatkan apa yang kurang mendapat perhatian dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan toleransi. Selain memberi apresiasi terhadap buku yang dibedah, ada beberapa catatan yang diberikan.

Pertama, buku yang dibahas masih berangkat pada pendekatan yang sangat berorientasi pada materi yang diajarkan pada peserta didik. Menurut Raihani, pendidikan toleransi harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik yang melibatkan semua elemen dalam pendidikan, baik di lingkungan sekolah maupun keluarga.

Kedua, tidak munculnya pembahasan mengenai proses asimilasi yang terjadi dalam kebudayaan di Indonesia. Di Indonesia terjadi asimilasi yang kadang bersifat negatif di mana budaya pendatang harus mengikuti budaya setempat/mayoritas.

Ini menyebabkan hubungan mayoritas-minoritas bersifat fluktuatif, dan akan menjadi buruk ketika kepentingan politik ikut terlibat. Hal ini menjadi masalah karena toleransi harus melibatkan nilai saling menghormati antara dua belah pihak, tidak cukup hanya satu pihak saja.

Ketiga, persoalan mengenai inklusi dan eksklusi, atau budaya mana yang bisa ditoleransi dan mana yang tidak bisa ditoleransi.

Pertanyaan yang muncul dalam acara bedah buku ini di antaranya: Bagaimana toleransi antaragama dipahami? Menjawab pertanyaan ini, Yudi Latif menjelaskan toleransi tidak cukup hanya dengan toleransi pasif, di mana kita tidak terlibat dengan kehidupan kelompok/agama lain. Toleransi jenis ini tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah bersama. Satu sama lain harus saling mengerti sehingga jika terjadi masalah dapat diselesaikan dengan tanpa salah satu merasa dirugikan.

Munzir Hitami menambahkan bahwa toleransi adalah persoalan menghargai perbedaan, dan kita bisa menghormati agama lain tanpa kita harus menjadi seperti mereka.

Persoalan toleransi adalah bagaimana masing-masing pihak menemukan perannya dan berkontribusi pada kehidupan bersama, tutup Raihani.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nineteen − seven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.