Batik Encim, Batik Pekalongan Bergaya Tiongkok-Belanda

oleh Siti Muniroh

10193
Foto: senengutami.wordpress.com

1001indonesia.net – Satu jenis batik Pekalongan yang banyak disukai masyarakat Indonesia, terutama kaum perempuan, adalah batik encim. Desainnya cukup sederhana, hanya beberapa buketan bunga yang disusun dalam 1 kain. Bunga-bunga seperti soka, mawar, anyelir, dan magnolia, sering digunakan. Buketan bunga diperindah dengan beberapa kupu-kupu atau burung-burung yang mengelilingi buketan bunga.

Buketan yang artinya adalah kumpulan bunga-bunga, merupakan pengaruh dari budaya Belanda dalam menyusun bunga. Kata buket sendiri berasal dari bahasa Belanda, bouqet.

Adapun gambar kupu-kupu, bunga, maupun burung-burung yang mengelilingi buketan bunga adalah pengaruh dari gaya China. Oleh karenanya, batik encim dikenal sebagai batik hasil perpaduan budaya Tionghoa dan Belanda, atau batik Tionghoa peranakan bergaya Belanda.

Tidak ada filosofi khusus dalam batik Encim ini, hanya keindahan bunga-bunga dalam kehalusan teknik yang diberikan kepada penikmatnya. Batik ini dahulunya memang biasa dipakai oleh para perempuan peranakan Tionghoa dalam keseharian mereka. Encim sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Hokian , yaitu cici untuk menyebut kakak perempuan.

Beberapa alternatif desain biasanya hanya memberi variasi pada latar belakang kain. Kainnya ada yang berlatar belakang polos (putih atau warna), ada juga yang berlatar belakang motif kecil-kecil yang disebut tanahan. Variasi lain adalah dengan memberi tumpal atau tanpa tumpal untuk dikenakan sebagai sarung.

Bahan kain katun yang digunakan juga biasanya adalah katun kelas satu, yaitu katun primissima—berbeda dengan batik cap yang biasanya menggunakan kain katun prima yang kualitasnya sedikit di bawah. Dengan katun primissima ini, meskipun diproduksi dengan teknik cap, hasil akhirnya tetap sangat halus, terlihat mahal untuk digunakan sebagai bahan dress perempuan.

Batik encim disukai karena motifnya yang feminim dan berwarna-warni. Batik ini banyak diproduksi dengan teknik cap dengan pewarnaan colet sehingga harganya relatif terjangkau. Namun begitu, ia tetap diproduksi dengan kualitas yang sangat bagus seperti layaknya batik-batik produksi Pekalongan.

Sejarah Batik Encim

Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, Gubernur Letnan Hindia Belanda (penulis buku History of Java) di tahun 1817 mencatat tentang keberadaan kebaya. Namun, sebenarnya di saat itu kebaya telah mengalami akulturasi dengan berbagai budaya yang masuk. Salah satunya adalah perpaduan budaya Jawa dengan budaya Tionghoa yang akhirnya menghasilkan kebaya encim.

Kala itu gelombang imigrasi penduduk Tionghoa ke tanah air meningkat, dipicu oleh aktifnya perdagangan di segala bidang dari abad ke-15. Sebagian besar dari mereka menetap di daerah Lasem, Cirebon, Pekalongan, hingga Semarang.

Uniknya, para imigran Tionghoa yang datang ke Asia Tenggara (termasuk Indonesia) tidak membawa istri. Lantas untuk mengobati kerinduan dan kebutuhannya akan hal ini, kebanyakan dari mereka memperistri perempuan-perempuan dari penduduk setempat yang kala itu menggunakan kebaya sebagai busana sehari-hari mereka.

Perempuan yang menikah dengan pria Tionghoa ini kemudian sering kali disebut nyai. Meski menikah dengan pria Tionghoa totok, para nyai ini tetap menggunakan kebaya sebagai busana sehari-hari mereka.

Keadaan pasar pada saat itu tengah didominasi oleh batik Belanda. Hal ini memengaruhi batik Tionghoa. Pada masa penjajahan Belanda ini, motif batik peranakan mendapat sentuhan Eropa, seperti motif bunga mawar, rangkaian bunga, hingga buket. Motif inilah yang kemudian dikenal sebagai batik buketan. Tak hanya itu, kebudayaan Eropa juga melahirkan batik dongeng, yakni batik dengan motif dongeng-dongeng Eropa seperti Cinderella, Hansel dan Gretel, hingga Red Riding Hood.

Lambat-laun, kebaya para nyai tersebut pun berubah. Mereka mengenakan kebaya yang memiliki bahan lebih halus dan mahal serta model yang merupakan perpaduan dari 2 budaya di atas.

Warna-warni batik encim, seperti biru-putih atau warna-warna pastel lainnya, mengingatkan kita pada porselen khas China. Sementara ukuran ornamen floral yang besar, dipengaruhi dengan budaya Eropa dengan lahirnya motif bouquet.

Anak-anak perempuan yang lahir dari perpaduan budaya ini otomatis lebih kenal dengan kebaya yang dikenakan oleh ibunya. Bahkan, ketika perempuan keturunan ini menikah dengan sesama Tionghoa (baik peranakan atau totok), mereka tetap menggunakan kebaya (seperti kebaya ibunya) dalam busana sehari-hari.

Seiring dengan perkembangan dan makin banyaknya pendatang serta pedagang dari Portugis serta Malaka, batik Encim yang dikenakan sebagai padanan kebaya itu pun menjadi makin kaya dengan percampuran budaya dari dua daerah ini pula. Hal ini terlihat dari beberapa variasi dalam pemilihan bahan yang lebih ringan dan model yang lebih simpel sesuai iklim tropis Indonesia.

Tak heran bila kebaya ini pun kian meluas tidak hanya ke para perempuan peranakan Tionghoa yang bermukim di Semarang, Lasem, Tuban, Surabaya, Pekalongan, dan Cirebon tetapi juga Batavia sejak akhir abad ke-19. Dari sini kemudian menyebar ke daerah Sumatra, Kalimantan, dan Bali dengan penyesuaian motif dan corak.

Di kalangan Tionghoa sendiri, dan penulis kira juga di negeri asal mereka, batik dengan motif tradisional Tionghoa ini pada awalnya digunakan sebagai tokwi, yakni kain penutup altar yang merupakan dekorasi simbol religius untuk upacara adat seperti ulang tahun, kematian, pernikahan, dan upacara tradisional Tionghoa lainnya.

Selain tokwi, batik Tionghoa ini juga digunakan untuk taplak meja dan hiasan dinding seperti umbul-umbul. Sampai penghujung tahun 1910, patra dan warna batik peranakan Tionghoa ini mulai banyak digunakan sebagai busana.

Pada zaman penjajahan Jepang, muncul batik Hokokai. Perpaduan batik Tionghoa dan budaya Jepang ini dikenal dengan tanahannya atau latar belakang yang rapat dan penuh. Hal ini ternyata disebabkan oleh budaya pada saat ini di mana para perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan membatik.

Batik Encim Saat Ini

Hingga sekarang, batik encim terus berkembang dan digunakan sebagai busana dengan berbagai macam rancangan dan model. Hal ini membuat masyarakat memiliki banyak pilihan. Tidak hanya sebagai sarung, dengan desain yang menarik, batik bermotif bunga-bunga ini juga didesain menjadi kemeja pria untuk kesan yang lebih kasual. Batik ini pun sekarang sudah dibuat dalam bentuk beraneka interior dan lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 − two =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.