1001indonesia.net – Di Kudus, keberadaan lentog tanjung atau yang biasanya kita kenal sebagai lontong memiliki sejarah awal mula yang khas. Sejarah keberadaan kuliner tradisional ini berkaitan dengan masa awal penyebaran Islam di Kudus oleh para Walisanga.
Lentog tanjung sangat terkenal di Kudus. Siapa pun masyarakat Kudus pasti sudah pernah merasakan kenikmatannya. Bahkan kuliner khas ini memiliki arti penting tersendiri bagi masyarakat Kudus, khususnya masyarakat di Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.
Dahulu, kuliner ini hanya dijual di sepanjang jalan Desa Tanjungkarang atau sering disingkat sebagai Desa Tanjung. Namun, menu tradisional ini kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di Kudus.
Sekarang, ketika menginjakkan kaki di Kota Kudus, kita akan dengan mudah menemui kuliner ini di berbagai tempat. Kuliner ini menjadi menu sarapan pagi bagi masyarakat Kudus. Terutama jika hari libur, biasanya lentog tanjung menjadi santapan pilihan bersama keluarga.
Lentog
Lentog adalah nama lain dari lontong. Sebutan yang terakhir lebih familiar di telinga orang Indonesia pada umumnya. Namun di Kudus, lontong lebih dikenal dengan nama lentog.
Lentog atau lontong terbuat dari beras yang dibungkus daun pisang, kemudian direbus hingga 4 jam. Yang unik, lentog Kudus berukuran jumbo. Besarnya seukuran betis orang dewasa. Ini yang membuatnya berbeda dari lontong pada umumnya yang berukuran kecil.
Kuah pelengkapnya terdiri dari 2 macam, yaitu sayur gori (nangka muda) dan lodeh tahu yang memiliki kandungan santan cukup tinggi. Dilengkapi dengan sambal, bawang goreng, dan sate telur puyuh, semakin menambah nikmatnya rasa untuk bisa menggoyangkan lidah di pagi hari. Pikiran menjadi semangat dalam beraktivitas selanjutnya.
Selain itu, penyajiannya pun unik. Lentog disajikan di atas piring kecil yang dialasi daun pisang berbentuk lingkaran. Memakannya pun tidak memakai sendok logam seperti biasa, melainkan memakai suru (sendok yang dibuat dari daun pisang yang disobek berbentuk persegi panjang, kemudian dilipat menjadi 2), sehingga semakin menambah sedapnya aroma lentog tanjung.
Desa Tanjung
Disebut lentog tanjung karena menu ini berkaitan dengan Desa Tanjung yang menjadi asal kuliner tradisional ini. Desa ini terletak di Kecamatan Jati yang berada di area Jalan Lingkar di Kabupaten Kudus.
Ada kisah di balik lahirnya kuliner khas Kudus ini. Konon, masyarakat Desa Tanjung dilarang menjual nasi. Sebab itu, warga pun berduyun-duyun mengganti makanan pokok warung mereka dengan lentog.
Salah satu tokoh masyarakat Kudus, KH. Abdul Hadi, menjelaskan mengapa nasi dilarang untuk dijual. Saat masih zaman kerajaan, datang beberapa wali untuk menyebarkan agama Islam di area Kudus.
Secara diam-diam, mereka ingin membangun sebuah masjid sebagai pusat dakwah Islam di Kudus. Karena tak mau agenda penting tersebut diketahui dan digagalkan oleh pihak kerajaan, mereka membangun masjid pada malam hari hingga menjelang subuh, di saat semua orang sedang terlelap tidur.
Para wali dan beberapa muridnya tersebut mengangkut bahan bangunan yang letaknya di Desa Tanjung menuju Desa Kauman di Kecamatan Kota. Area Desa kauman ini kini menjadi area Masjid Menara Kudus yang menjadi monumen Islam utama di Kota Kudus. Mereka mengangkut bahan bangunan diam-diam agar tidak menarik perhatian.
Namun pada suatu hari, ketika mereka baru sibuk mengangkut bahan bangunan, terdengar suara ketukan saringan kelapa dari seorang ibu penjual nasi. Saringan kelapa tersebut ia gunakan sebagai tempat nasi.
Suara ketukan tersebut mirip dengan suara beduk subuh sehingga para murid wali menganggap hari sudah menjelang pagi. Para murid kemudian berhenti bekerja dan dengan tergesa-gesa kembali ke area Desa Kauman untuk melaksanakan sholat subuh.
Mengetahui hal itu, sang wali kecewa karena murid-muridnya meninggalkan tanggung jawab, padahal waktu masih larut malam. Apalagi ditambah niatnya untuk segera menyelesaikan pembangunan masjid agar bisa dipergunakan berdakwah.
Sang wali bertanya kepada murid-muridnya apa yang menyebabkan mereka berlarian meninggalkan tanggung jawab. Salah satu muridnya menyatakan bahwa mereka mendengar suara ketukan seperti suara beduk subuh. Sang Wali pun menyelidikinya dan kemudian mengetahui bahwa ketukan tersebut berasal dari penjual nasi yang buka hingga larut malam.
Menurut KH Abdul Hadi, Sang Wali kemudian mengeluarkan peringatan kepada warga Desa Tanjung: “Nek ono rejo-rejone jaman. Wong Tanjung ojo ono sing dodolan sego, mergo ngganggu pembangunan.”
Dari ucapan di atas, tampak bahwa Sang Wali melarang warga Desa Tanjung untuk berjualan nasi (bahasa Jawa: sego). Untuk menyiasati hal itu, para warga pun mengganti menu pokok warung mereka dengan lentog. Untuk menambah cita rasa pada potongan lentog, warga pun membuat sayur khusus.
Warga Desa Tanjung melakukannya sebagai penghormatan kepada Sang Wali, juga sebagai dukungan untuk memudahkan tersebarnya Islam di Kudus. Hal ini membuat gangguan terhadap pembangunan masjid dihilangkan sehingga prosesnya berjalan lancar. Sampai saat ini, Masjid Menara Kudus masih berdiri megah di area Masjid Kauman dan area makam Sunan Kudus.
Sejarah ini menjadi kenangan mendalam bagi warga Tanjung. Sampai sekarang pun, warga asli Tanjung tidak berani berjualan nasi. Sebagai gantinya, mereka menjual lentog tanjung.