Wedang Ronde, Multikulturalisme dalam Minuman Tradisional Khas Salatiga

Amanda Widyasari

1866
Wedang Ronde
Wedang Ronde Salatiga (Foto: travelingyuk.com)

1001indonesia.net – Wedang ronde merupakan minuman tradisional khas Salatiga yang dikembangkan dengan pengaruh dari budaya Tionghoa. Olahan minuman tradisional yang memadukan budaya Jawa dan Tionghoa ini menggambarkan masyarakat Salatiga yang mampu hidup damai dalam keberagaman.

Minuman yang berasal dari negeri Tiongkok ini bernama asli tāngyuán. Tāng berarti sup, sedangkan yuán berarti bulat. Sementara dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman hangat, sedangkan ronde adalah bola-bola bulat yang kenyal.

Dalam tradisi warga Tionghoa, wedang ronde secara khusus dikonsumsi secara bersama-sama saat Festival Dongzhi atau festival musim dingin. Selama festival ini, semua anggota berkumpul. Mereka bersama-sama minum wedang ronde untuk menghangatkan badan.

Dongzhi juga dianggap penting karena menjadi penanda hari terakhir masa panen. Saat itu, keluarga akan berkumpul untuk merayakannya.

Ronde pada wedang ronde terbuat dari tepung ketan yang diberi air sehingga menjadi adonan. Adonan tersebut dibentuk menjadi bola-bola yang diberi isi wijen atau kacang.

Tepung ketan yang lengket setelah dicampur dengan air mempunyai makna bahwa dengan merayakan festival Dongzhi setiap anggota keluarga akan rukun, harmonis, dan saling menghangatkan sehingga tercipta kerekatan keluarga.

Wedang ronde di Tiongkok (tāngyuán) mempunyai cita rasa asli yang khas yang berbeda dengan yang ada di Salatiga. Bola-bola ketan (ronde) selalu berisi wijen hitam yang nantinya akan menyerupai pasir. Di Salatiga, bola-bola ini berisi kacang tanah.

Penyajian tāngyuán pun hanya berupa kuah jahe dan bola-bola ketan saja. Di Salatiga, isi wedang ronde lebih ramai, ada agar-agar dan kolang-kaling.

Dari segi cita rasa, tāngyuán tidak memakai banyak rempah-rempah karena Tiongkok memang bukan negara penghasil rempah-rempah seperti Indonesia. Jadi, jika dibandingkan dengan wedang ronde di Salatiga, tāngyuán terasa hambar.

Tekstur tāngyuán juga lebih lembut karena jahe dan gula yang dipakai hanya sedikit saja sehingga kuahnya bening. Sedangkan wedang ronde rasa jahenya tajam. Ada juga wedang ronde yang memakai daun pandan sehingga kuahnya berwarna cokelat.

Multikulturalisme

Salatiga bisa dijadikan sebagai contoh kecil mengenai toleransi dalam perbedaan. Kota kecil ini terkenal dengan toleransi masyarakatnya terhadap perbedaan. Bahkan Salatiga diberi penghargaan sebagai kota paling toleran kedua se-Indonesia.

Hal ini menarik jika dilihat dari kondisi Salatiga yang merupakan kota kecil yang dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Semarang. Di Salatiga, dapat dijumpai orang dari berbagai suku, agama, dan ras. Mereka dapat hidup berdampingan dengan damai. Upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan di pusat kota, gereja, masjid, dan tempat ibadah lainnya berlangsung dengan aman tanpa gangguan.

Keanekaragaman dan toleransi masyarakat Salatiga ini juga tercermin dalam kuliner khas Salatiga, yaitu wedang ronde. Di Salatiga, minuman yang berasal dari negeri tirai bambu itu mengalami perubahan-perubahan dalam hal penyajian, varian rasa, dan ciri khas.

Proses perubahan tersebut menggambarkan berpadunya dua kebudayaan, Jawa dan Tionghoa, dalam satu jenis minuman. Dengan perpaduan tersebut, minuman itu tak lagi hanya milik etnis Tionghoa semata, tapi juga dapat dinikmati oleh semua masyarakat. Artinya, dalam relasi yang harmonis, alih-alih menjadi sumber masalah, perbedaan yang ada justru menjadi berkah bagi kehidupan manusia.

Baca juga: Pempek, Makanan Khas Palembang Warisan Melayu-Tionghoa

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

20 + 19 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.