Ritual Orang Jawa untuk Mendapatkan Anak yang Linuwih

3939
Ritual Mitoni
Seorang calon ibu dimandikan dengan air kembang setaman saat usia kandungannya menginjak 7 bulan. (Foto: Purwoto Sumodiharjo)

1001indonesia.net– Orang Jawa tak hanya mempersiapkan anak dengan memberikan pendidikan yang baik, tetapi juga melalui beragam upacara. Beraneka ritual dilakukan bahkan sebelum anak tersebut dilahirkan. Tujuannya agar anak diberi anugerah keselamatan, kesehatan, kecerdasan, dan budi pekerti yang baik.

Ritual orang Jawa saat bayi di kandungan dan setelah kelahiran bayi meliputi mitoni, brokohan, puputan, sepasaran, selapanan, dan tedak sinten. Berikut ritual orang Jawa untuk mendapatkan anak yang linuwih.

Mitoni

Mitoni atau nujuhbulan merupakan ritual orang Jawa yang dibuat ketika usia kandungan menginjak 7 bulan. Mitoni sendiri berasal dari kata pitu yang berarti tujuh.

Pitu juga bermakna untuk memohon pitulungan (pertolongan) dari Yang Maha Kuasa untuk ibu yang sedang mengandung agar diberikan kelancaran dalam persalinan dan agar anak yang lahir nanti memiliki pribadi yang baik dan berbakti pada orangtua.

Sebagai uborampe, umumnya dibuatlah tumpeng beserta urapan dan irisan telur rebus, rujakan, dan cengkir gading bergambar Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Gambar sepasang dewa-dewi tersebut merupakan harapan. Semoga kelak si jabang bayi akan setampan Dewa Kamajaya jika terlahir laki-laki, dan secantik Dewi Kamaratih jika terlahir sebagai perempuan.

Kemudian calon ibu yang sedang mengandung dimandikan dengan air kembang setaman. Proses ini disebut tingkeban. Yang diberi kesempatan pertama untuk memandikan adalah ibu-ibu, mulai dari ibu tertua yang hadir pada upacara tersebut. Selama dimandikan, calon ibu tersebut berganti kain hingga tujuh kali.

Upacara mitoni adalah upacara yang paling umum dilaksanakan saat kehamilan, tetapi sebenarnya ini bukanlah satu-satunya upacara saat bayi sedang dalam kandungan.

Dalam adat Yogyakarta, ada berbagai jenis upacara tradisi yang harus dilakukan. Yang pertama adalah upacara ngabor-abori, yaitu selamatan bulan pertama yang biasanya dengan uborampe utama jenang sungsum.

Setelah itu berturut-turut dilakukan upacara-upacara, seperti ngloroni (dua bulanan), neloni (tiga bulanan), ngapati (empat bulanan), nglimani (lima bulanan), mitoni (tujuh bulanan), ngwoloni (delapan bulanan), dan nyangani (sembilan bulanan).

Brokohan

Brokohan merupakan selamatan sebagai ungkapan rasa syukur atas lahirnya si jabang bayi dengan selamat. Brokohan ini diambil dari kata barokah sehingga maknanya adalah untuk memohon berkah

Umumnya uborampe dalam selamatan ini adalah nasi tumpeng beserta urapan dan irisan telur rebus; gorengan ikan asin atau ikan bader; jajan pasar berupa rebusan ubi, ketela, jagung, kacang, dan lain-lain, serta jenang merah-putih.

Dalam ritual ini, ada juga yang membuat sayur lodeh kluwih (keluih atau timbul) agar si jabang bayi menjadi anak yang linuwih.

Upacara ini dilaksanakan pada sore hari setelah bayi lahir, dan dihadiri oleh si ibu, suami, keluarga, pinisepuh, dan putra-putri famili.

Mengubur ari-ari

Bagi orang Jawa, ari-ari yang berperan menyalurkan nutrisi itu dianggap sebagai teman bayi sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, sejak fungsi utama ari-ari berakhir ketika bayi lahir, organ ini akan tetap dirawat dan dikubur. Hal ini agar tidak dimakan binatang ataupun membusuk di tempat sampah.

Ari-ari ditempatkan di dalam kendhil dan diberi daun talas. Alas daun talas mempunyai simbol agar sang anak kelak tumbuh tidak hanya memikirkan hal duniawi saja.

Bersama ari-ari, disertakan pula kembang boreh, kemenyan, garam, bawang merah, bawang putih, gula, kelapa sedikit, jarum, benang, pensil, dan kertas sebagai wujud doa orangtua agar si bayi diberi keberkahan, kelebihan, dan keselamatan.

Upacara mendhem ari-ari ini biasanya dilakukan oleh sang ayah, berada di dekat pintu utama rumah, diberi pagar bambu dan penerangan berupa lampu minyak selama 40 hari.

Ritual mengubur ari-ari
Orang Jawa mengubur ari-ari bayi dan memberinya penerangan selama 40 hari. (Foto: inibaru.id)

Sepasaran dan Puputan

Ketika bayi berumur sepasar (lima hari) diadakanlah selamatan sepasaran yang uborampenya sama saja dengan selamatan brokohan. Pada pelaksanaannya, rambut bayi dipotong sedikit dengan gunting dan si jabang bayi diberi nama.

Sedangkan upacara puputan dilakukan ketika tali pusar yang menempel pada perut bayi sudah putus. Pelaksanaan upacara ini biasanya berupa kenduri memohon pada Tuhan agar si anak yang telah puput puser selalu diberkahi, diberi keselamatan dan kesehatan.

Orang tua zaman dulu melaksanakan upacara puputan dengan menyediakan berbagi macam sesaji. Namun, masyarakat jawa modern biasanya menggelar acara puputan bersamaan dengan upacara sepasaran.

Umumnya pusar bayi akan puput pada usia sekitar 5 hari. Sebab itu, untuk alasan praktisnya, upacara sepasaran dibarengi dengan upacara puputan.

Ritual Sepasaran Bayi
Ketika bayi berusia 5 hari, diadakanlah upacara sepasaran. Saat itu, rambut bayi dipotong sedikit dengan gunting dan si jabang bayi diberi nama. (Foto: kimpena.kabpacitan.id)

Selapanan

Pada waktu bayi berusia selapan (35 hari) diadakan selamatan selapanan. Uborampenya sama dengan selamatan brokohan dan sepasaran. Pada selamatan selapanan yang pertama ini, bayi dicukur halus rambutnya.

Setelah ritual ini, setiap 35 hari dibuatlah upacara wetonan sebagai perayaan hari kelahiran bayi/anak. Orang Jawa begitu memuliakan peristiwa kelahiran sebagai awal hadirnya seorang manusia di muka bumi. Itu sebabnya, setiap pertemuan hari dan pasarannya, dibuatlah upacara untuk merayakannya.

Tedak sinten

Selamatan tedak sinten dilaksanakan pada saat bayi berumur 245 hari (tujuh-lapan). Disebut tedak sinten karena saat inilah bayi untuk pertama kalinya diinjakkan kakinya ke tanah.

Ada tujuh ritual yang saling berkaitan dalam upacara tedak sinten ini. Pertama-pertama, anak akan dituntun untuk berjalan di atas tujuh jadah dengan tujuh warna, yakni cokelat, merah, kuning, hijau, ungu, biru, dan putih. Setiap warna mencerminkan lambang kehidupan.

Tahap kedua, anak dibimbing menaiki tangga yang dibuat dari tebu jenis Arjuna sebagai simbol dari jenjang kehidupan sekaligus melambangkan pengharapan agar sifat sang anak menyerupai Arjuna. Tebu menjadi simbol antebing kalbu (keteguhan hati).

Pada tahap ketiga, anak akan dibiarkan mencakar-cakar tanah dengan kedua kakinya sebagai harapan agar saat besar nanti ia mampu mengais rezeki.

Di tahap selanjutnya, anak dimasukkan dalam kurungan ayam yang telah diberi beraneka benda, seperti uang, mainan, alat musik, buku, atau makanan. Benda yang dipilih sang anak dipercaya merupakan gambaran dari potensi yang dimiliki anak tersebut.

Pada tahap kelima, anak akan diberi uang logam dengan berbagai macam bunga dan beras kuning oleh sang ayah dan kakek. Ritual ini menjadi lambang dan harapan supaya anak diberkahi rezeki yang melimpah, tetapi tetap memiliki sifat dermawan.

Tahap selanjutnya, anak dimandikan dengan air yang telah dicampur kembang setaman. Langkah ini sebagai harapan agar si anak mampu membawa nama baik bagi keluarganya.

Yang terakhir adalah proses pemakaian baju yang bagus dan bersih supaya anak bisa menjalani kehidupan dengan baik.

Ritual Tedak Sinten
Upacara Tedak Sinten (Foto: Jurnal Indonesia)

Caca juga: Ruwatan Sukerta, Ritus Orang Jawa dalam Mengupayakan Keselamatan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

18 − 7 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.