1001indonesia.net – Di Lombok Barat, NTB, terdapat tradisi unik perang topat. Namun, meski namanya perang, jangan bayangkan tradisi ini penuh dengan tindak kekerasan yang dapat merenggut korban nyawa. Tradisi perang topat masyarakat Lombok Barat (Lobar) justru dilaksanakan dalam semangat persaudaraan dan penuh kegembiraan.
Tradisi perang topat merupakan puncak perayaan yang dilaksanakan masyarakat Lombok Barat. Setiap tahun, tepatnya pada November-Desember, antara waktu setelah panen dan sebelum memasuki musim tanam baru, masyarakat suku Sasak dan warga keturunan Bali di Lombok Barat menggelar ritual masing-masing secara bersamaan di Pura Lingsar.
Baca juga: Pura Lingsar, Simbol Kerukunan Masyarakat di Pulau Lombok
Warga Sasak yang beragama Islam menggelar upacara rarak kembang waru (gugurnya kembang waru). Sementara warga keturunan Bali yang beragama Hindu menyelenggarakan odalan atau perayaan hari jadi pura. Puncak perayaan dilakukan dengan tradisi pujawali perang topat atau saling melempar ketupat antarwarga.
Upacara yang diadakan setelah datangnya musim hujan sebelum menanam padi ini dimaksudkan untuk mengembalikan hasil tanah (berupa topat) kepada asal (Lingsar). Hasil tersebut akan menjadi pupuk (bubus lowong) untuk bibit padi yang akan ditanam. Sebab itu, yang terutama menghadiri upacara tersebut adalah anggota Subak Kecamatan Lingsar dan Narmada.
Di samping itu, tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Tiap tahun sebelum perang topat, ada beberapa orang dari Subak ini yang naik ke Gunung Rinjani dengan membawa benda-benda yang terbuat dari emas berbentuk udang, gurami, nyale, dan kura-kura. Benda-benda ini nantinya akan dilarung ke Danau Segara Anak dengan maksud untuk memohon kemakmuran.
Baca juga: Bau Nyale, Tradisi Maritim dari Nusa Tenggara Barat
Ritual yang juga mengusung semangat persahabatan ini diikuti oleh seluruh umat beragama yang berada di sekitar Pura Lingsar. Semua warga dari agama apa pun boleh ikut acara ini. Perang Topat biasanya dilakukan pada malam bulan purnama yang jatuh pada bulan Desember.
Sebelum dimulainya acara puncak, terdapat ritual mengarak kerbau. Masing-masing tokoh agama memegang tali kerbau saat mengarak keliling taman Pura Lingsar. Kerbau yang diarak menjadi simbol penghormatan kepada umat Islam dan Hindu.
Perang Topat ini diiringi dengan sebuah tarian Baris Lingsar yang dilakukan oleh 3 batek (penari perempuan) dan 12 penari baris lingsar (penari laki-laki). Pemimpin tarian ini akan menggunakan bahasa Belanda sambil membawa senjata api peninggalan Belanda di abad ke-18, saat datang menjajah Pulau Lombok.
Usai tarian dimainkan, inti acara Perang Topat pun dimulai. Dengan ketupat di tangan yang dibagi-bagikan oleh panitia, warga sudah mulai bersiap. Saat aba-aba untuk melempar sudah dikeluarkan, ketupat-ketupat kecil mulai berterbangan ke berbagai arah menghujam tubuh banyak orang.
Tradisi saling melempar ketupat yang sudah berusia ratusan tahun ini membawa perasaan sukacita pada para pesertanya yang berasal dari beragam agama. Tidak ada amarah, yang terjadi justru membuat mereka lebih akrab. Sampai saat ini, tradisi yang mampu mempererat hubungan antarumat beragama di Lombok Barat ini masih dipelihara.