1001indonesia.net – Kampung Kuta terletak di Desa Karangpaninggal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis. Di tengah arus modernisasi, masyarakat di kampung ini masih teguh menjunjung tinggi tradisi warisan para leluhur.
Banyak sekali pantangan di kampung ini, baik bagi warga asli maupun pendatang. Misalnya, rumah penduduk tidak boleh bertembok permanen, melainkan harus dibuat dari bahan bambu dan kayu. Bentuknya rumah panggung. Atapnya menggunakan ijuk atau rumbia, tidak boleh menggunakan genting.
Tempat menyimpan beras harus dekat ke tempat tidur. Kalau rumah diperbaiki, tidak boleh menambah ruangan ke timur atau utara. Yang diperbolehkan ke selatan atau barat.
Juga ada larangan membuat kamar mandi atau jamban di rumah. Tujuannya agar tidak ada kubakan dalam rumah yang dapat menjadi sumber demam berdarah dan penyakit lainnya.
Untuk kebutuhan mandi cuci kakus, warga menggunakan kamar mandi umum yang ada di tempat tertentu. Kamar mandi dan jamban terbuat dari bambu tanpa pintu dan setengah terbuka. Biasanya menyatu dengan kolam iklan milik warga. Airnya berasal dari mata air yang mengalir melalui pancuran.
Bangunan rumah juga harus berbentuk persegi panjang, tidak boleh menyiku. Dalam satu deret, maksimal empat rumah. Tak heran kalau masih tersedia banyak ruang terbuka.
Aturan adat mengenai tata bangunan ini menggambarkan dekatnya hubungan masyarakat Kampung Adat Kuta dengan alam sekitar. Menurut warga Kampung Kuta, bahan kayu dan bambu digunakan karena bisa ditanam kembali. Sementara jika penambangan semen dapat merusak alam. Bentuk rumah panggung dari kayu dan bambu juga membuat bangunan menjadi tahan gempa.
Suasana di Kampung Kuta juga masih sangat asri dan alami. Terlebih udaranya sangat sejuk karena di sini terdapat hutan keramat yang dijaga kelestariannya. Oleh warga setempat, hutan keramat itu disebut Leuweung Gede.
Warga Kampung Kuta meyakini di dalam hutan keramat itulah Dayang Sumbi, ibunda Sangkuriang, dibuang. Dalam legenda Gunung Tangkuban Parahu, diceritakan Dayang Sumbi ditemani seekor anjing hitam bernama Si Tumang, yang juga merupakan ayah Sangkuriang.
Kampung Kuta dipimpin oleh seorang ketua adat. Selain ketua adat, ada kuncen dan sesepuh yang dihormati warganya. Dalam pengambilan keputusan, musyawarah menjadi cara untuk mencapai mufakat, termasuk dalam memilih sesepuh.
Kampung adat ini memiliki wilayah seluas 185.192 hektare. Sebagian sebagian besar lahannya dipergunakan untuk perkebunan dan persawahan. Karena keunikan adat dan tata bangunannya yang unik, kampung ini menjadi salah satu tujuan wisata di Jawa Barat.
Sejarah Kampung Kuta
Sejarah Kampung Kuta lekat dengan legenda Kerajaan Galuh. Menurut cerita turun-temurun, Kampung Kuta akan dijadikan sebagai ibu kota Kerajaan Galuh oleh Prabu Ajar Sukaresi. Tetapi rencana itu batal. Kampung Kuta lalu disebut sebagai nagara burung yang berarti daerah yang batal menjadi pusat Kerajaan Galuh.
Lokasi yang direncanakan menjadi ibu kota kerajaan Galuh adalah Leuweung Gede. Konon, peralatan dan material untuk membangun sebuah kerajaan sudah disiapkan. Karena batal, aneka material itu akhirnya tertimbun tanah dan berubah menjadi sebuah bukit kecil.
Bukit-bukit itu oleh warga diberi nama sesuai asal usulnya, Gunung Semen, Gunung Kapur, Gunung Barang, Gunung Wayang, dan Gunung Pandai Domas (pandai besi) yang kini membentengi Kampung Kuta. Leweung Gede dan tempat-tempat penyimpanan bahan bangunan yang gagal digunakan lalu ditetapkan sebagai tempat keramat.
Masyarakat Kuta yakin merupakan keturunan Kerajaan Galuh yang memiliki tugas untuk memelihara dan menjaga kekayaan Raja Galuh. Tugas tersebut diemban oleh juru kunci (kuncen). Ki Bumi, yang diduga Pangeran Pakpak, adalah kuncen pertama. Ia diutus Raja Cirebon untuk menyebarkan Agama Islam ke daerah Selatan.
Baca juga: Nyepuh, Membesihkan Diri Sekaligus Merawat Alam