Topeng Pajegan, Drama Tari Bali yang Sarat Makna

6375
Topeng Pajegan, Drama Tari Bali yang Sarat Makna
Foto: fathurrahmanid.blogspot.co.id

1001indonesia.net – Untuk menjadi penari Topeng Pajegan Bali dibutuhkan kemampuan dan pengetahuan yang mumpuni. Tak hanya kemampuan menari, tetapi juga pengetahuan tentang upacara, maupun sumber cerita dari drama yang dimainkan. Pertunjukan ini tak hanya sekadar menghibur, tapi sarat akan makna. Di dalamnya terselip banyak pelajaran moral yang bisa diambil sebagai pedoman hidup.

Istilah pajegan berasal dari kata majeg yang berarti melakukan segalanya sendirian. Ini merujuk pada Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang penari lelaki. Bak teater monolog, seorang diri penari menampilkan suatu cerita dengan menampilkan serangkaian tokoh berbeda. Perbedaan tokoh ditandai dengan pergantian topeng, perubahan karakter suara, dan modifikasi busana tanpa harus berganti pakaian sebelum muncul dari balik layar pentas.

Topeng Pajegan digelar pada peristiwa-peristiwa penting dalam daur-hidup manusia, seperti upacara pernikahan, asah gigi, hingga upacara ngaben. Pertunjukan Topeng Pajegan juga digelar dalam upacara keagamaan tahunan di halaman pura.

Upacara dan Adat

Pertunjukan Topeng Pajegan merupakan sebuah drama upacara yang dimainkan oleh seorang penari yang membawakan sebuah cerita dengan menampilkan sederet tokoh bertopeng dengan watak berbeda.

Unsur upacara menjelma pada tokoh yang muncul terakhir, yaitu Sidakarya yang berwajah putih, bergigi tonggos menyeringai, dan berambut panjang acak-acakan.

Topeng Sidakarya (Foto: mantrahindu.com)

Sidakarya berarti telah menyelesaikan segalanya dengan sempurna atau yang dapat melakukan tugas. Di akhir pertunjukan, ia melakukan upacara pemberkatan dengan menabur uang logam ke arah penonton, dan “menculik” anak kecil yang akan “dipersembahkan” kepada dewa pura sebelum akhirnya dilepaskan.

Konon, Topeng Pajegan pertama kali digelar di Gelgel sekitar tahun 1665 sampai 1668, menggunakan topeng yang dibawa ke Bali dari Jawa sebagai rampasan perang akhir abad ke-16. Pertunjukan topeng tersebut diciptakan sebagai penghormatan kepada I Gusti Pering Jelantik, patih Gelgel saat itu.

Topeng Pajegan jarang ditampilkan di depan umum. Pertunjukannya pun disertai upacara penyucian kembali topeng-topeng keramat. Hal ini mempertegas kedudukan para penarinya di masyarakat. Mereka dikenal sebagai ahli yang sering diminta menggelar upacara secara profesional.

Pagelaran

Tempat yang dibutuhkan untuk pertunjukan Topeng Pajegan tidak luas. Iringan musiknya berupa gamelan gong. Penari meletakkan sebuah keranjang berisi topeng-topeng di atas meja di balik layar pentas gantung. Setelah sembahyang, pertunjukan dimulai dengan menampilkan tiga tokoh pertama yang berbeda watak. Penari melakukannya tanpa berkata-kata, hanya bahasa isyarat, dalam tarian yang relatif panjang.

Tokoh pertama dalam pembukaan adalah perdana menteri atau patih, bersifat kuat dan kasar. Mukanya merah, menandai seorang pemberani tapi mudah marah. Geraknya lebar dan meruang, menunjukkan ketegasan dan kekuatan.

Tokoh berikutnya, patih lain, bermuka cokelat dan berkumis tebal, dengan gerak agak lucu bersemangat. Tokoh terakhir melukiskan seorang tua lucu, tetapi berwibawa. Kelakuannya berganti antara mengenang dan memerankan masa muda, tetapi akhirnya tersandung dan mengalah pada kenyataan hidup sekarang.

Cerita pun dimulai. Kisah selalu berdasar pada babad (cerita sejarah tradisional) Bali yang berkaitan dengan kehebatan raja-raja Hindu-Bali dan menterinya. Penari menggubah dramanya dari naskah menurut tradisi, tapi menyesuaikan agar cocok dengan acara yang bersangkutan.

Kerangka cerita dasar serupa dengan yang digunakan dalam drama tari Gambuh. Penari berganti-ganti topeng, antara topeng yang menutup seluruh muka dari tokoh bangsawan yang tidak bersuara dan topeng separuh yang dipakai tokoh penasar serta tokoh petani lucu (bondres) yang memungkinkan petani berbicara.

Para raja dan bangsawan menyampaikan pesan dengan bahasa isyarat, sedang punakawan dapat berbicara atas nama tuannya dalam bahasa Kawi atau untuk diri sendiri dalam bahasa Bali.

Punakawan yang sering muncul bergantian dengan tokoh lain adalah penasar yang dianggap sebagai anak Semar dalam drama tari Gambuh. Penasar diwakili dua tokoh, yaitu penasar kelihan (saudara tua) Punta, dan penasar cenikan (saudara muda) Wijil. Penasar biasanya diwakili Punta yang mengenakan topeng separuh berwarna cokelat dengan kumis hitam lebat dan mata melotot. Dia menyanyi dan menari. Dalam monolog, ia menjelaskan garis besar cerita selanjutnya.

Tokoh selanjutnya adalah raja (dalem) yang mengenakan topeng putih atau hijau muda, lambang tokoh halus. Ia menarikan tarian yang menampilkan kewibawaan, keagungan, dan keindahan. Setelah tarian tunggal panjang, raja masuk ke dalam cerita inti. Dengan gerak-gerik waspada, raja mengisyaratkan melihat seseorang datang. Ia melambai pada orang tersebut untuk mendekat.

Raja keluar dari pentas, tapi seolah-olah tetap hadir. Tamu yang datang dari pentas adalah seorang utusan, bertopeng separuh dan berbicara secara bergantian dalam bahasa Kawi untuk raja dan bahasa Bali tinggi ketika menjawab raja. Utusan tersebut akhirnya berangkat setelah menerima perintah, dan kemudian muncul kembali sebagai salah seorang punakawan untuk melanjutkan jalan cerita dengan melawak serta menghibur.

Pentas kemudian diambil alih patih, seorang prajurit dan pengambil keputusan yang menjalankan perintah raja. Topeng patih berwarna cokelat dengan mata besar dan kumis yang menakutkan. Sering kali bibirnya terbuka menampakkan gigi atau dapat juga tertutup. Patih mulai dengan tarian pengantar tunggal, bersemangat dan penuh kekuatan, tetapi sekaligus berwibawa dan terkendali.

Setelah itu, ia memanggil pelayan, yang tidak tampak di pentas, untuk berkemas dan berangkat menjalankan tugas. Sejumlah bondres menyertai patih. Kasta mereka lebih rendah dan sering kali mewakili orang desa yang teraniaya musuh raja. Kebanyakan bondres berpenampilan cacat dan memakai topeng separuh, misalnya Si Bisu, Si Tolol, Si Gagap, Si Sumbing, Si Tuli, dan Si Genit. Mereka menghibur penonton yang bersemangat dengan lelucon dan senda gurau yang seronok.

Tokoh terakhir adalah musuh raja, mengenakan topeng kuning atau merah, berkumis atau bermata besar. Sering kali tampil dengan topeng bertaring, ia mendadak muncul ke pentas sambil berbicara berapi-api dan menggerakkan tangan. Setelah memberi perintah kepada para pengikutnya untuk berkemas, ia menghilang.

Patih kembali ke pentas dan membawakan tari perang tanding melawan musuh raja. Dia bergerak ke layar latar panggung dan meja di mana ia memungut topeng raja musuh sebagai lambang bahwa musuh telah dikalahkan dan sekaligus kemenangan bagi sang patih. Cerita berakhir dengan penampilan Sidakarya yang bertopeng putih dan upacara penutup.

Ketika seluruh pertunjukan usai dan upacara dilengkapi dengan Sidakarya, para penonton mendekati altar, bersembahyang sendiri-sendiri. Penari menyimpan topeng-topeng ke dalam keranjang setelah mempersembahkan sesajen kepada Dewa Wisnumurti Pelindung Tari, lalu kembali ke desanya.

Akhir-akhir ini, banyak penari menyusun naskah cerita pada siang hari dan menampilkan drama tersebut pada malam harinya. Pada Desember 2015, Tari Topeng Pajegan menjadi salah satu dari sembilan tarian Bali yang ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.

*) Tulisan bersumber pada I Wayan Dibia, “Topeng Pajegan”, dalam Edi Sedyawati, Indonesia Heritage: Seni Pertunjukan, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002, dilengkapi dari sumber-sumber lain.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × four =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.