1001indonesia.net – Rumah adat Betawi memiliki atap berbentuk pelana yang dilipat (dengan kemiringan bagian depan yang sangat rendah) bak kebaya. Sebab itu, rumah tradisional itu disebut sebagai rumah kebaya. Rumah adat Betawi juga disebut sebagai rumah Gudang dan rumah Joglo. Namun, kedua nama terakhir ini tidak populer.
Meski disebut sebagai rumah Joglo, bentuknya tidak seperti rumah Joglo Jawa. Rumah adat suku Jawa itu tidak mempunyai atap seperti pelana yang dilipat, melainkan mirip seperti perahu terbalik.
Perbedaan lain, rumah Joglo Jawa mempunyai 6 ruang. Sementara rumah Joglo Betawi hanya mempunyai dua ruang, yakni ruang privat dan semi-publik. Ruang privat merupakan bagian utama rumah yang bersifat pribadi, hanya boleh dilihat oleh orang-orang dekat dari pihak pemilik rumah.
Sementara ruang semi-publik tidak lain adalah teras depan atau pendopo. Dalam bahasa Betawi, teras ini disebut amben. Di amben ini terdapat bale-bale, kursi-kursi, serta meja yang terbuat dari kayu jati.
Amben berfungsi sebagai tempat untuk bersantai bersama anggota keluarga, tetangga, maupun tetamu yang datang. Amben yang terbuka ini memungkinkan setiap orang dapat melihat betapa asri nan sejuk rumah kebaya ini.
Lantai amben yang bernama gejogan wajib dibersihkan sebagai wujud penghormatan kepada tamu. Lantai ini juga dianggap sakral oleh masyarakat Betawi sebab berhubungan langsung dengan tangga yang bernama balaksuji (penghubung rumah dengan area luar).
Di masa silam, masyarakat Betawi membuat sumur di depan rumahnya dan pemakaman di samping rumah. Makam ini adalah kuburan untuk anggota keluarga.
Membuat makan di sekitaran rumah bukannya tanpa tujuan. Hal ini dimaksudkan agar anggota keluarga bila membuka jendela dapat teringat kepada keluarganya yang telah tiada. Ziarah kepadanya pun menjadi lebih sering karena letak makamnya begitu dekat. Di samping itu, hal ini juga menjadi pengingat akan kematian manusia yang niscaya.
Namun, ketika makin lama makin sedikit lahan yang ada, tradisi membuat makam dan sumur di dekat rumah sudah mulai ditinggalkan.
Material dan Struktur
Fondasi rumah kebaya berupa susunan batu alam yang dibentuk menyerupai umpak (pondasi rumah/tiang yang terbuat dari batu) yang diletakkan di bawah setiap kolom. Sementara untuk landasan dinding digunakan pasangan batu bata dengan kolon dari kayu nangka yang sudah tua.
Konstruksi gording (balok kayu mendatar yang letaknya di atas kuda-kuda) dan kuda-kuda terbuat dari kayu gowok (Syzygium polycephalum) ataupun kayu kecapi (Sandoricum koetjape). Balok tepi terutama di atas dinding luar terbuat dari kayu nangka (Artocarpus heterophyllus lamk) yang sudah tua.
Bambu tali digunakan sebagai bahan kaso dan reng. Kaso merupakan balok kayu dengan ukuran 4 cm x 6 cm atau 5 cm x 7 cm yang berfungsi sebagai dudukan reng. Sementara reng merupakan balok kayu dengan ukuran 2 cm x 3 cm atau 3 cm x 4 cm yang berfungsi sebagai dudukan atap genteng.
Bambu tali sendiri merupakan sejenis bambu yang batangnya (setelah dibelah-belah) dapat dijadikan tali. Bambu yang digunakan sebagai kaso adalah bambu utuh dengan diameter sekitar 4 cm, sedangkan reng adalah bambu yang dibelah 4.
Adapun rumah kebaya menggunakan genteng tanah maupun anyaman daun kirai sebagai atapnya.
Material Dinding
Dinding depan terbuat dari kayu gowok atau kayu nangka. Dinding bagian depan ini dicat dengan dominasi warna kuning dan hijau. Sedangkan dinding-dinding lainnya terbuat dari anyaman bambu seluruhnya, ataupun separuh bawahnya merupakan susunan bata yang direkat dengan semen sedangkan paruh atasnya adalah anyaman bambu.
Daun pintu biasanya terbuat dari susunan rangka kayu dengan jaluzi horizontal. Dengan model seperti ini, daun pintu juga berfungsi sebagai lubang udara sehingga sirkulasinya tetap terjaga dalam ruang yang tertutup. Jaluzi terdapat pada bagian atas daun pintu atau pada keseluruhan daun pintu dan jendela.
Pada dinding depan, terdapat hiasan rumah. Hiasan rumah kebaya memiliki ragam pada dinding yang kadang kala fungsinya tidak hanya menjadi hiasan, tetapi juga dapat menutup lubang ventilasi pada dinding depan.
Ruang-Ruang
Sebagaimana tiap rumah, rumah kebaya pun memiliki ruang-ruang. Selain gejogan, terdapat ruang-ruang pribadi sebagai berikut:
- Paseban atau kamar tamu. Kamar ini didesain indah untuk menghormati tamu yang menginap. Dipagari dengan pintu masuk di tengahnya. Pintu ini diberi ukiran dan tingginya sekitar 80 cm. Tepi atapnya sendiri diberi renda laksana kebaya. Bila tidak ada tamu yang datang, paseban berfungsi sebagai tempat ibadah.
- Pangkeng atau ruang bersama/keluarga. Ruangan ini biasa ditempati pada malam hari saat keluarga berkumpul dan bercengkerama. Ruangan ini dibatasi dinding-dinding kamar tidur. Biasanya kamar tidur berjumlah empat. Tentunya terdapat satu ruang tidur yang dijadikan kamar tidur utama atau khusus untuk pemilik rumah dan istrinya.
- Srondoyan atau dapur di bagian belakang rumah. Di ruangan ini seperti layaknya ruang dapur rumah-rumah lainnya, terdapat peralatan untuk memasak. Diisi juga dengan meja dan kursi makan yang dijadikan untuk makan bersama.
Salah satu ciri khas rumah adat Betawi adalah adanya dinding-dinding pembatas ruang berupa panel-panel yang dapat dibuka dan digeser-geser ke tepinya. Hal ini dimaksudkan agar rumah terasa lebih luas dan juga untuk mendapatkan sirkulasi udara yang bagus.
Hiasan rumah kebaya sendiri memiliki ragam pada dinding yang fungsinya tidak hanya menjadi hiasan, tetapi juga dapat menutup lubang ventilasi pada dinding depan.
Penutup
Tempat favorit bagi keluarga dan kerabat adalah amben yang luas. Inilah keunikan rumah Kebaya selain daun pintu(depan)nya yang sengaja dibuat lebar.
Terdapat filosofi dari amben yang luas ini, yakni sifat keterbukaan masyarakat Betawi terhadap tamu atau orang-orang baru. Sifat ini menandakan sifat orang Betawi yang terbuka terhadap perbedaan-perbedaan.
Meski begitu, terdapat pagar kayu yang dibuat berbentuk segitiga simetris di sekeliling teras. Pagar ini merupakan perwujudan dari sifat lain dari orang Betawi, yakni mempunyai batasan terhadap hal-hal negatif terutama dari sisi keagamaan. Batasan ini ditujukan terhadap budaya yang tidak baik, yang dibawa orang luar ke kampung mereka.