1001indonesia.net – Pulau Lombok merupakan jembatan Nusantara yang menghubungkan antara Indonesia bagian barat dan timur. Sebagai daerah antara, Lombok menjadi melting pot keanekaragaman yang ada di Nusantara. Lombok mencerminkan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Demikian ujar Yudi Latif dalam acara bedah buku “Indonesia: Zamrud Toleransi” dan “Menghargai Perbedaan” yang bertempat di UIN Mataram, Nusa Tenggara Barat pada 3 Mei 2017. Kota Mataram merupakan kota ketiga dari empat kota yang direncanakan sebagai tempat mengenalkan 2 buku mengenai toleransi ini kepada khalayak.
Menanggapi menguatnya isu SARA akhir-akhir ini, Yudi Latif berpendapat bahwa yang menjadi masalah dalam keberagaman bukanlah perbedaan. Yang menjadi akar persoalan adalah menguatnya politik identitas yang memunculkan keyakinan bahwa untuk meneguhkan identitas tertentu, identitas lain perlu dihabisi.
Untuk menghadapi ini, penanaman nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan perlu dilakukan. Indonesia memiliki banyak kearifan lokal yang mengajarkan tentang bagaimana hidup secara harmonis, baik dengan alam atas (Tuhan), alam tengah (sesama manusia), dan alam bawah (alam). Nilai-nilai kearifan lokal inilah yang perlu dibangkitkan dan diajarkan kembali pada generasi muda.
Namun, tidak mudah untuk melakukannya. M. Husni Muads mengungkapkan untuk merawat kearifan lokal ataupun meneguhkan nilai toleransi diperlukan tindakan nyata. Selama ini, penguatan nilai-nilai toleransi hanya menitikberatkan pada sistem pengajaran saja. Padahal, toleransi masuk dalam dimensi praksis, pengetahuan mengenai keberagaman dan pentingnya menjaga hidup harmoni (dimensi teoretis) saja tidak cukup.
Menjawab hal tersebut, Atun Wardatun mengungkapkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan nilai toleransi. Secara khusus, ia mengungkapkan peran yang bisa diambil kaum perempuan untuk melawan sikap diskrimitatif.
Pertama, berkaitan dengan feminisme multikultural atau feminisme multirasial. Ada kesadaran bahwa diskriminasi tidak hanya diakibatkan oleh jenis kelamin, tapi juga identitas lain, seperti warna kulit dan agama. Melalui gerakan ini, kaum perempuan berperan dalam melawan diskriminasi dalam masyarakat yang diakibatkan oleh identitas yang berbeda.
Peran kedua berkaitan dengan modal kultural yang dimiliki perempuan Indonesia. Menurut Wildert Geertz, perempuan Indonesia, khususnya Jawa, memiliki ciri matrivokal, yaitu perempuan merupakan inti atau pusat di dalam hubungan keluarga maupun sosial. Peran sentral yang dimiliki perempuan ini bisa digunakan untuk memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman melalui pendidikan keluarga dan masyarakat.