1001indonesia.net – Masyarakat suku Da’a atau suku Kaili Da’a merupakan suku terasing yang mendiami Sulawesi Tengah dan perbatasan Sulawesi Barat. Mereka bermukim di kawasan hutan dan pegunungan, terutama di gunung Gawalise. Suku ini merupakan salah satu dari kelompok sub-suku Kaili. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Kaili dengan dialeg Da’a.
Masyarakat Da’a umumnya tinggal di dataran tinggi wilayah Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, juga di Bambaira, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Awalnya, mereka hidup secara nomaden dengan berburu dan meramu. Mereka ahli menggunakan sumpit, seperti suku Dayak di Kalimantan. Makanan utama mereka sagu dan ubi jalar.
Dulu, suku Da’a membangun rumah di atas pohon atau rumah panggung dari bambu dengan ketinggian hingga 5 meter. Namun, sebagian masyarakat Da’a telah dipindahkan oleh dinas sosial di dataran rendah sejak 1970-an. Sejak itu, mereka mulai berkebun.
Berciri Non-Austronesia
Laporan Kompas (29/08/2016) menyebutkan bahwa masyarakat Da’a diidentifikasi memiliki ciri fisik dan kebudayaan non-Austronesia. Hal ini dengan kuat mengindikasikan bahwa Sulawesi telah dihuni manusia modern jauh sebelum kedatangan penutur Austronesia ke pulau itu sekitar 5.000 tahun lalu. [Baca: Jejak Budaya Penutur Austronesia di Indonesia]
Jika dilihat dari bentuk wajah, sebagian masyarakat suku Da’a menyerupai orang Papua, yang termasuk kelompok awal migrasi dari benua Afrika. Mereka tiba di Nusantara sekitar 50.000 tahun silam. Kemungkinan besar, masyarakat Da’a ini memang kelompok Austro-Melanesoid dengan ciri pygmy (berbadan pendek), rambut keriting, dan kulit cenderung gelap.
Dari segi kebudayaan, berbeda dari kebudayaan Austronesia, orang Da’a tidak mengenal domestikasi kerbau. Mereka juga takut air dan laut, dan sama sekali tidak mengenal budaya membuat perahu. Sangat berbeda dengan kebudayaan Austronesia yang memiliki keahlian melaut.
Namun, sekalipun memiliki ciri budaya non-Austronesia, masyarakat Da’a yang berbahasa Kaili dikelompokkan dalam penutur Austronesia Barat (Western Malayo-Polynesian) atau serumpun dengan masyarakat Dayak di Kalimantan. Bahasa dan kebudayaan memang bisa saling memengaruhi, terutama bahasa Austronesia yang memang bersifat ekspansif.
Temuan adanya kebudayaan non-Austronesia di Sulawesi Tengah ini tentu saja sangat menarik. Apalagi selama ini, Sulawesi dikenal sebagai pintu masuk penutur Austronesia ke wilayah Indonesia. Fakta ini membawa pemahaman baru mengenai sejarah migrasi nenek moyang manusia Indonesia.
Sumber:
- Kompas, Senin, 29 Agustus 2016.