Malabot Tumpe, Upacara Syukuran atas Panen Telur Maleo

986
Upacara Adat Malabot Tumpe
Upacara Adat Malabot Tumbe (ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

1001indonesia.net – Molabot atau Malabot Tumpe adalah upacara syukuran atas panen telur maleo (Macrocephalon maleo Sal.Muller). Tradisi ini sudah dilakukan masyarakat Banggai, Sulawesi Tengah, secara turun-temurun sejak zaman Kerajaan Banggai dipimpin oleh Raja Mandapar.

Malabot Tumpe merupakan upacara adat tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat di dua kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai dan Kerajaan Matindok (Batui). Tumpe atau tumbe berarti sesuatu yang pertama atau awal, sedangkan malabot atau molabot berarti penyambutan.

Pada ritual adat ini, masyarakat adat Batui di Kabupaten Banggai mengantarkan telur maleo ke keraton Kerajaan Banggai di Kabupaten Banggai Laut. Upacara adat ini menjadi cermin ikatan persaudaraan masyarakat Banggai di Provinsi Sulawesi Tengah.

Maleo, Burung Endemik Sulawesi yang Langka
Burung Maleo (Foto: seputarsulut.com)

Burung maleo merupakan burung endemik Sulawesi Tengah yang hidup di kawasan pantai. Populasinya banyak ditemukan di daerah Bangkiriang di Kecamatan Batui. Upacara Malabot Tumpe dilaksanakan setiap tahun saat musim pertama bertelurnya burung maleo, biasanya sekitar bulan September.

Setiap tahun, masing-masing 5 desa, yaitu Dakanyo Ende, Binsilok Balatang, Tolando, Binsilok Katudunan, dan Topundat memberikan telur maleo yang siap diantarkan untuk upacara tumpe. Seiring waktu, karena keberadaan telur maleo yang semakin berkurang, jumlah telur yang dipersembahkan pun semakin sedikit.

Prosesi Upacara

Prosesi upacara Malabot Tumpe diawali dengan pengumpulan telur burung maleo oleh perangkat adat. Setelah terkumpul, perangkat adat membawanya ke rumah ketua adat. Rangkaian upacara adat kemudian digelar dengan doa dan dzikir kepada Tuhan yang Maha Esa.

Perahu dan pengantar telur sudah disiapkan di tepi sungai Batui, biasanya terdiri dari 7 orang, 3 orang pemangku adat yang disebut sebagai ombuwa telur (pembawa telur), dan 4 orang pendayung.

Sebelum diberangkatkan dari Batui ke Banggai, telur maleo dibungkus dengan daun pohon palem biasa disebut daun komunong. Pembawa telur maleo berjalan dan diarak menuju sungai Batui dengan iringan genderang dan dikawal pasukan adat.

Menurut aturan adat masyarakat Batui, warga belum boleh memakan telur burung maleo sebelum telur pertama dipersembahkan ke Banggai dengan upacara Malabot Tumpe.

Sejarah

Alkisah, pada 1500-an, Adi Cokro yang masih berdarah biru dari Kerajaan Kediri di Pulau Jawa datang di Banggai untuk memperdalam agama Islam. Masyarakat Banggai sudah mengenal Islam sejak 1200-an.

Di Banggai, Mbumbu Doi Jawa (Pemuda dari Jawa) yang oleh masyarakat Banggai dipanggil dengan nama Adi Soko itu kemudian menjadi Raja Banggai. Adi Soko lalu menikah dengan putri dari Kerajaan Matindok yang bernama Sitti Aminah.

Pasangan tersebut dikaruniai putra yang diberi nama Abu Kasim. Atas kelahiran Abu Kasim, sang kakek Raja Matindok memberi hadiah sepasang burung maleo. 

Setelah sekian lama memimpin Banggai, Adi Soko memutuskan kembali ke kampung halaman di Pulau Jawa tanpa memboyong sang istri dan putra semata wayangnya. Adi Soko hanya membawa sepasang maleo pemberian Raja Matindok.

Kerajaan Banggai pun tanpa pemimpin. Abu Kasim sempat diminta mengganti ayahnya memerintah, tetapi menolak. Abu Kasim kemudian memutuskan berlayar ke Pulau Jawa, mencari ayahnya.

Ketika bertemu, ayahnya menolak kembali ke Banggai. Ia bersikukuh bahwa Abu Kasim-lah yang harusnya memimpin Banggai. Adi Soko lalu menawarkan jalan keluar: tahta diserahkan pada Mandapar, putra dari pernikahan lainnya.

Abu Kasim setuju dengan usul tersebut. Sebelum kembali ke Banggai, Adi Soko menitip sepasang burung maleo karena tidak bisa berkembang biak dengan semestinya di Pulau Jawa.

Tiba di Banggai, Abu Kasim mencari cara mengembangbiakkan burung maleo. Segala cara ditempuh, namun tetap tak berhasil. Sepasang burung maleo tersebut lalu dibawa kembali ke Batui. Sebab, daerah Batui, khususnya Bakiriang, memiliki pasir yang cocok untuk kelangsungan hidup burung maleo.

Abu Kasim berpesan kepada sang kakek Raja Matindok, apabila burung maleo bertelur, telurnya yang pertama tidak boleh dicicipi siapa pun dan harus diserahkan ke Kerajaan Banggai. Perjanjian antara Abu Kasim dan kakeknya inilah yang menghasilkan tradisi Malabot Tumpe.

Baca juga: Guti Nale, Tradisi Tangkap Cacing Laut Masyarakat Mingar di Pulau Lembata

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × 1 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.