1001indonesia.net – Kampung Adat Miduana terletak di Desa Balegede, Kecamatan Naringgul, Cianjur. Konon, warga di kampung ini merupakan keturunan Kerajaan Pajajaran. Baru-baru ini, Kampung Adat Miduana menjadi pemberitaan karena banyak warganya yang berumur panjang.
Dilansir dari ANTARA, nama Miduana berasal dari kata midua yang berarti terbagi atau terbelah dua. Ini karena desa adat ini berada di antara dua Sungai Cipandak, yaitu Cipandak hilir dan Cipandak girang. Kedua sungai itu kemudian bertemu menjadi Sungai Cipandak yang dikenal memiliki arus landai dan tidak curam.
Jadi, karena ada dua sungai yang menghimpit, dan pertemuannya di ujung kampung ini jadi dinamakan Miduana.
Kampung ini mula-mula bernama Joglo Alas Roban. Pertama kali dibuka, kampung ini dihuni oleh sembilan kepala keluarga, dipimpin Eyang Jiwa Sadana. Mereka kemudian secara turun-temurun beranak cicit hingga saat ini tetap memegang pikukuh karuhun dengan segala aturannya.
Sampai saat ini, Kampung Adat Miduana masih berpegang teguh pada tradisi kesundaan yang kuat dalam kehidupan sehari-hari. Di kampung yang masih asri ini, masih banyak warga yang mengenakan pakaian adat, lengkap dengan totopong atau ikat kepala asli Sunda.
Rumah di kampung ini juga masih sangat tradisional berupa rumah panggung dengan dinding berupa bilik bambu. Uniknya, semua rumah memiliki kesamaan bentuk. Bagian pintu harus menghadap ke arah selatan.
Sebagian besar warga Kampung Adat Miduana hidup dari hasil pertanian. Hamparan sawah di sekeliling kampung menjadi mata pencaharian utama warga. Selain petani padi, ada juga warga yang menjadi penyadap aren.
Mereka menjalankan tetekon atau tradisi tata kelola pertanian yang dijalankan secara turun-temurun. Terdapat pantangan tidak boleh dilanggar saat menanam. Di antaranya, tidak boleh tanam padi dengan ketan di bagian paling atas ladang. Kalau dilanggar dipercaya akan menimbulkan penyakit.
Sampai saat ini, secara turun-temurun warga kampung adat masih memegang teguh budaya warisan leluhur, seperti Dongdonan Wali Salapan, Lanjaran Tatali Paranti, Mandi Kahuripan, dan Opatlasan Mulud, dan berbagai kesenian buhun.
Di kampung adat juga terdapat sejumlah situs yang masih dijaga kelestarian dan keberadaanya hingga kini, seperti Batu Rompe yang diyakini merupakan sisa peninggalan ribuan tahun lampau berupa batu menhir yang sudah hancur berkeping-keping akibat bencana.
Tidak jauh dari Batu Rompe terdapat situs Arca Cempa Larang Kabuyutan yang dipercaya warga sekitar sebagai peninggalan Kerajaan Sunda berusia lebih dari 2.000 tahun dan di Kampung Kubang Bodas terdapat Goa Ustrali atau Australi.
Selama ratusan tahun warga kampung adat tetap mempertahankan cara hidup tradisional. Meski demikian, mereka tidak menutup diri dengan pendidikan modern. Banyak warga kampung adat yang sudah menempuh pendidikan hingga sarjana.
Umur panjang
Salah satu fakta yang menarik dari Kampung Adat Miduana adalah banyak warganya yang berusia panjang dengan kondisi tetap segar bugar. Warga yang telah berusia lanjut itu masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk pergi ke sawah atau kebun dan menyerap nira.
Menurut tim riset dari Universitas Pajajaran yang melakukan penelitian di Kampung Adat Miduana, pola makan, pikiran, dan pola hidup warga diduga berkaitan dan menjadi alasan banyak warga di kampung tersebut berusia panjang.
Warga Kampung Adat Miduana selalu mengonsumsi makanan sehat langsung dari alam. Bahan makanan yang akan dikonsumsi merupakan hasil olahan dari kebun dan sawah mereka sendiri. Budi daya tanaman tersebut dilakukan sesuai dengan tradisi turun-temurun, tanpa pupuk kimia.
Mereka juga mengonsumsi ikan payo yang segar dari Sungai Cipandak. Warga setempat percaya, ikan payo dapat membuat orang yang mengonsumsinya memiliki umur panjang dan awet muda. Ikan payo yang memiliki kepala besar mirip kecebong melimpah di sepanjang Sungai Cipandak yang membentang di sepanjang Kampung Adat Miduana.
Maka tidak heran, dengan pola hidup sehat yang mereka miliki, warga Kampung Adat Miduana bisa berumur panjang. Mereka sehari-hari beraktivitas sebagai petani, tidak seperti orang kota yang malas bergerak.
Yang mereka konsumsi pun makanan sehat, yaitu hasil pertanian yang mereka budi dayakan sendiri serta ikan payo segar hasil tangkapan di sungai. Tidak seperti masyarakat perkotaan yang banyak makanannya mengandung bahan kimia dan sering mengonsumsi makanan siap saji.
Baca juga: Kampung Urug, Tetap Teguh Mempertahankan Tradisi Leluhur