Mendu, Teater Tradisi Melayu dari Kepualauan Riau

2778
Teater Rakya Mendu
Penampilan Mendu pada tanggal 13 November 2016 yang berjudul Panglima Akbar dan disutradarai oleh Ilham Setia. (Foto: Ilham Setia/Mediaindonesia.com)

1001indonesia.net – Mendu adalah teater rakyat yang berkembang di masyarakat Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat. Pertunjukan tradisional ini mengandung perpa­duan beberapa unsur kesenian, seperti musik Melayu, tari, lagu, syair, dialog, pencak silat, dan banyolan/humor.

Mendu dilakukan secara berbabak. Ini dilakukan karena Hikayat Dewa Mendu yang menjadi sumber cerita pertunjukan ini merupakan cerita yang panjang. Bila keseluruhan cerita ini dipentaskan akan diperlukan waktu berhari-hari.

Akan tetapi, seperti teater tradisional yang lain, Mendu dapat dipentaskan secara sepenggal-sepenggal atau per episode. Penonton tidak akan merasa kehilangan arah cerita karena mereka sudah sangat mengenal cerita tersebut.

Selain itu, teater Melayu ini juga membawakan kisah-kisah lain yang bersifat istana sentris. Biasanya diangkat dari dongeng, legenda, hikayat seribu satu malam, serta cerita lama.

Pertunjukan Mendu

Pertunjukan Mendu diawali dengan nyanyian dan tarian yang diiringi tabuhan alat musik serta pengenalan pemeran teater. Penyampaian cerita menggunakan Bahasa Melayu Mendu dan Pesisir.

Gerakan yang dilakukan oleh para pemain tidak memiliki aturan tertentu. Para pemain hanya perlu mengikuti alur cerita dan memperhatikan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton.

Waktu pementasan tergantung permintaan pihak penyelenggara dan respons penonton. Dulu waktu pertunjukan bisa lebih dari empat jam. Akan tetapi, kini dipersingkat menjadi 45-90 menit.

Saat ini, bahasa yang digunakan pun disesuaikan dengan keadaan penonton agar lebih mudah dimengerti. Meski tetap menggunakan bahasa Melayu, tetapi sudah bercampur dengan bahasa Indonesia.

Adegan di dalam cerita banyak dilakukan secara spontan, improvisasi yang disertai humor. Dalam pertunnjukan biasanya disisipkan dialog/pesan berupa nasihat dan pendidikan budi pekerti.

Penampilan Mendu ditutup dengan lagu dan tari Beremas. Semua pemain tampil berjajar menghadap penonton dan mendendangkan lagu sambil menari.

Beremas juga sebagai ungkapan rasa terima kasih para pemain kepada penonton, sekaligus permohonan maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang tanpa sengaja dilakukan selama pertunjukan.

Mendu dari masa ke masa

Awalnya teater rakyat ini dirintis oleh Nek Ketol. Mendu kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Ali Kapot. Muridnya ini kemudian membentuk kelompok teater Mendu di Desa Malikian, Kabupaten Mempawah.

Kelompok itu terdiri atas tiga orang, yaitu Ali Kapot, Amat Anta, dan Achmad. Selain pentas, mereka kemudian juga mulai mengajarkan Mendu kepada masyarakat di desa lain pada 1837. Teater Mendu kemudian mulai menyebar ke daerah-daerah lain.

Awalnya, pementasan teater ini hanya dilakukan di kalangan masyarakat biasa. Namun, kemudian mulai menjadi bagian dari acara hiburan Kerajaan Mempawah. Murid dari Ali Kapot yang bernama Abdul Hamid Satoh mementaskan teater Mendu untuk Panembahan Mohammad Taufik Akkamaddin.

Satoh pentas di Istana Amantubillah pada peringatan hari ulang tahun Panembahan Mohammad Taufik Akkamaddin dan acara khitanan kedua putranya, yaitu Pangeran Jimmi Mohammad Ibrahim dan Pangeran Faitsal Taufik.

Selama periode 1876 hingga 1943, seni teater ini mendapat dukungan dari Kerajaan Mempawah. Mendu kemudian dipentaskan juga di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Ketapang.

Pusat pementasannya berada di Mempawah, Ngabang, Sambas, Sungai Raya, Sungai Duri, Singkawang, Sekura, Tayan, Balai Karangan, Sungai Awan Kiri, Suka Baru, Sukadana, dan Simpang Hilir.

Pementasan teater tradisional ini dihentikan oleh pemerintah pendudukan Jepang pada 1943. Saat itu, pemerintah penjajahan Jepang mengeluarkan larangan berserikat dan berkumpul. Sejak saat itu hingga tahun 1980, tidak lagi ada pementasan Mendu di ruang publik.

Seni teater seperti bangkit dari tidur panjangnya ketika pemerintah Indonesia menaruh perhatian padanya. Pada 5 November 1978, diadakan diskusi tentang Mendu oleh tim dari Sub Direktorat Seni Teater, Film, dan Sastra, Direktorat Pembinaan Kesenian Jakarta, tim Bidang Kesenian Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Kebudayaan Kalimantan Barat, tim petugas kebudayaan Kabupaten Pontianak, dan penatua kesenian Mendu.

Topik diskusinya mengenai cara memopulerkan kembali kesenian Mendu. Pada 1980, teater Mendu kembali dipentaskan di Kota pontianak oleh Sanggar Teater Gelanggang Seni Budaya Pontianak dalam kepemimpinan Sataruddin Ramli.

Hingga tahun 2000-an, telah bermunculan kelompk-kelompok teater Mendu di Kota Pontianak, Kabupaten Mempawah, Sambas, Ketapang, Sanggau, sampai ke Kapuas Hulu.

Pada 2014, Kemdikbud RI menetapkan Mendu sebagai warisan budaya takbenda (WBTb) Indonesia dari Kepulauan Seribu dan Kalimantan Barat.

Baca juga: Ubrug, Campur-Aduk Rupa-Rupa Seni, Sulap, dan Gedebus

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nineteen − seven =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.