1001indonesia.net – Sebagai gubernur Kalimantan Tengah pertama, Tjilik Riwut meletakkan dasar pembangunan yang mencerminkan sikapnya yang pluralis, yaitu konsep pembangunan Kalimantan Tengah, khususnya Palangkaraya, sebagai rumah betang. Dengan konsep ini, Tjilik Riwut menginginkan agar Palangkaraya dapat menjadi rumah bersama bagi warga dari beragam latar belakang kelompok sosial, etnik, dan agama.
Rumah betang merupakan rumah tradisional suku Dayak. Rumah ini dibuat sangat panjang sehingga dapat memuat puluhan hingga ratusan keluarga. Itu sebabnya, sebagian warga Kalimantan menyebut rumah betang dengan nama rumah panjang.
Baca juga: Rumah Panjang, Rumah Tradisional Suku Dayak
Panjang rumah betang bisa mencapai 150 meter, dengan lebar 30 meter dan tinggi 3 meter. Biasanya rumah ini terbuat dari kayu berkualitas tinggi, yakni kayu ulin atau kayu bulian. Kayu khas Kalimantan tersebut termasuk kelas satu kualitasnya. Sangat keras, tahan air, dan antirayap. Tidak heran jika rumah betang yang dibangun dengan kayu ini dapat bertahan lama, bahkan hingga ratusan tahun.
Tjilik Riwut menggunakan budaya betang sebagai konsep pembangunan Palangkaraya karena nilai-nilai kebersamaan dalam hidup sehari-hari orang Dayak yang dulu tinggal di rumah betang (Laksono dkk., 2006: 74).
Di masa lalu, rumah betang merupakan tempat tinggal orang Dayak. Kala itu, fungsinya lebih dari sekadar tempat bernaung dan berkumpul seluruh anggota keluarga. Lebih dari itu, rumah betang adalah jantung dan struktur sosial dalam kehidupan masyarakat Dayak.
Di dalam rumah betang, kehidupan setiap orang Dayak, baik sebagai anggota keluarga maupun masyarakat, diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat.
Rumah betang mencerminkan sikap suku Dayak yang mencintai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam rumah tradisional ini, relasi antarpenghuni terjalin lebih erat dan lengkap. Kerja sama terjalin hampir dalam segala hal.
Kini, rumah betang telah berangsur-angsur menghilang di Kalimantan. Kalaupun ada, orang Dayak tidak lagi menggunakannya sebagai rumah utama atau sebagai tempat berbagi dan tumbuh bersama. Di berbagai tempat, rumah betang dipertahankan sebagai tempat wisata budaya.
Meski rumah betang tidak lagi menjadi tempat bernaung orang Dayak, nilai-nilai kebersamaan pada kehidupan orang Dayak yang dulu tinggal di rumah tersebut tetap dipertahankan. Nilai-nilai tersebut dikonstruksi dalam metafor budaya betang sebagai identitas mengenai kehidupan bersama orang Dayak.
Jauh sebelum munculnya ide budaya betang sebagai identitas kehidupan bersama orang Dayak, Tjilik Riwut telah menggunakan perspektif ini sebagai dasar pembangunan Kalimantan Tengah, khususnya Palangkaraya.
Selama menjabat sebagai gurbernur Kalimantan Tengah (1958–1967) Tjilik Riwut menekankan nilai kebersamaan yang dilandasi atas dasar solidaritas dan toleransi yang tercermin dalam kehidupan orang Dayak di rumah betang sebagai perspektif pembangunan Palangkaraya.
Perspektif Tjilik Riwut dalam memaknai rumah betang secara jelas terlihat dari usahanya untuk menjadikan Palangkaraya sebagai rumah bersama bagi warga dari beragam latar belakang. Tjilik Riwut tidak menginginkan Palangkaraya dihuni oleh orang Dayak saja. Ia berharap Palangkaraya dapat menjadi tempat bagi siapa saja yang jumbuh dengan semangat kebangsaan Indonesia (Laksono dkk., 2006: 82).
Tjilik Riwut ingin Bhinneka Tunggal Ika menjadi landasan dalam pembangunan Palangkaraya. Dengan demikian, kota ini dapat menampung segala perbedaan dan kemajemukan warganya.
Baca juga: Rumah Panjang Mentawai dan Sistem Kehidupan Tradisionalnya