1001indonesia.net – Padewakang adalah perahu tradisional yang digunakan oleh suku Bugis, Mandar, dan orang-orang Makassar dari Sulawesi Selatan. Kapal padewakang digunakan untuk pelayaran jarak jauh oleh kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan sebelum digunakannya kapal pinisi.
Tidak diketahui secara pasti asal-usul nama padewakang. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa nama itu berasal dari Pulau Dewakang, sebuah penanda navigasi penting antara Sulawesi dan Jawa. Catatan Belanda dari tahun 1735 menyebutkan surat-surat dari Sulawesi tiba di Batavia “dari Paduakkang”.
Seperti yang dilansir dalam Wikipedia, kata padewakang, paduwakang (Sulawesi) dan paduwang (Madura), mempunyai akar kata wa, wangka, waga, wangga, dan bangka dari bahasa Austronesia. Istilah tersebut diasosiasikan pada “perahu bercadik atau perahu kecil.”
Padewakang memiliki satu atau dua tiang dengan layar tanja. Seperti perahu tradisional Indonesia lainnya, kapal ini dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping.
Baca: Cadik, Perlengkapan Kapal Penjelajah di Nusantara
Dengan bobot antara 20 sampai 50 ton, padewakang merupakan kapal Sulawesi Selatan terbesar yang berfungsi sebagai kapal dagang dan kapal perang, digunakan selama ratusan tahun yang berlayar di lautan antara Papua Barat, bagian selatan Filipina, dan semenanjung Malaya.
Pada masa VOC, kapal ini cukup dikenal sebagai perahu dagang. Catatan mengenai perahu padewakang terdapat pada arsip para syahbandar VOC di pantai utara Jawa yang berasal dari akhir abad ke-18.
Berdasarkan catatan tersebut, perahu padewakang memiliki daya muat 10,86 metrik tons, memiliki panjang 12,2–15,25 meter, dan memiliki kurang lebih 15 kru dalam setiap pelayarannya.
Antara akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-20, menggunakan kapal padewakang, orang Bugis secara rutin berlayar ke pantai utara Australia untuk berburu teripang. Dalam pelayaran tersebut, para pelaut Bugis berhubungan dengan penduduk asli Australia sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Kapal padewakang digunakan sampai produksinya berhenti karena digantikan oleh Palari pada abad ke-20. Palari berkembang dari lambung dasar padewakang dengan layar fore-and-aft sampai mengembangkan model lambung sendiri dengan layar pinisi.
Baca juga: Kapal Pinisi, Kapal Layar yang Menjadi Ciri Organik Nusantara
Belum lama berselang, kapal layar tradisional padewakang bernama Nur Al Marege berhasil dibuat oleh perajin di Tana Beru, Kabupaten Bulukumba. Kapal tersebut digunakan untuk napak tilas perahu layar padewakang dari Sulawesi ke Australia.
Konstruksi kapal Nur Al Marege dirancang persis sama dengan aslinya. Bahan untuk layarnya menggunakan serat daun gebang, yang ditenun di Sulawesi Barat dan dijahit oleh pelaut-pelaut Mandar yang didatangkan khusus ke Tana Beru.
Perahu ini juga dibuat tanpa mesin dan hanya mengandalkan layar. Makanya, waktu berlabuhnya pun disesuaikan dengan musim angin barat di awal Desember.
Kapal layar tradisional berlabuh dari Makassar pada 8 Desember 2019 lalu melanjutkan perjalanan ke Kepulauan Selayar, Flores, Saumlaki Kepulauan Tanimbar, hingga Darwin Australia. Nur Al Marege tiba di Australia pada 20 Januari 2020.
Pelayaran yang dipimpin oleh Horst Hibertus Liebner, seorang antropolog dari Jerman, ini diharapkan mengingatkan kembali generasi Indonesia saat ini akan kejayaan budaya maritim Nusantara di masa lalu.