1001indonesia.net – Babad Diponegoro merupakan salah satu karya autobiografis terkemuka karya Pangeran Diponegoro (1785-1855). Disusun pada masa pembuangan pengarangnya, Babad Diponegoro merupakan salah satu puncak karya sastra Jawa.
Karya yang memuat bab-bab panjang dengan tebal 1.170 halaman folio ini tak semata memuat mengenai diri pengarangnya sendiri, melainkan juga sejarah, cita-cita, kepemimpinan Jawa, serta nilai spiritual (Islam). Keaslian mengenai gagasan dasar dalam karya ini dianggap jenius, terutama dengan mengingat bahwa pada masa itu karya autobiografi tidaklah tampil setegas karya ini.
Salah satu fakta yang menarik dari Babad Diponegoro adalah bahwa babad ini menjadi petunjuk penting ihwal cara Pangeran Diponegoro mengelola sastra dan bahasa dalam situasi perang. Ternyata, pangeran yang memiliki nama kecil Raden Mas Ontowiryo ini kerap melakukan aktivitas tulis-menulis dalam bahasa Melayu dengan pihak-pihak di Batavia.
Menurut Peter Carey, babad ini didiktekan langsung oleh Diponegoro. Si penulis diperkirakan adalah Tumenggung Dipowiyono, ipar Diponegoro yang ikut dibuang. Babad ini diperkirakan ditulis pada Mei 1831 hingga 1832 di Manado dan disusun dalam bentuk macapat (atau tembang Jawa). Untuk melacak naskahnya membutuhkan waktu yang cukup lama.
UNESCO mengakui Babad Diponegoro sebagai warisan ingatan dunia pada Juni 2013. Naskah yang diakui oleh UNESCO adalah naskah dalam aksara Jawa dan Arab Pegon. Namun, naskah ini bukan naskah aslinya, tapi naskah kopi dari naskah yang autentik. Menurut Peter Carey, naskah aslinya sudah hilang. Babad Diponegoro juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Sepertiga isi Babad Diponegoro berkisah tentang sejarah Jawa dari jatuhnya Majapahit (1527) sampai dengan Perjanjian Giyanti (1755), dan yang lainnya mengisahkan situasi Kesultanan Yogyakarta, dan riwayat Pangeran Diponegoro dari kelahiran (1785) sampai dengan pengasingan di Manado (1830).