1001indonesia.net – Sekitar 1.200 tahun yang lalu, orang Nusantara berlayar ke barat menyeberangi Samudra Hindia. Dengan perahu layar bercadik, mereka menempuh sekitar 7.600 kilometer, dan menjejakkan kakinya di Madagaskar. Sejak itu, terbentuklah komunitas penutur Austronesia yang membawa budaya Nusantara di pulau yang terletak di sebelah timur benua Afrika ini.
Baca juga: Jejak Budaya Penutur Austronesia di Indonesia
Jejak budaya ini ada sampai sekarang. Di antaranya, motif kain tenun di Madagaskar banyak yang mirip dengan yang ada di Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan warna tradisionalnya merah, putih, dan hitam.
Teknik bercocok tanam padi dan membajak sawah dengan luku yang ditarik sapi juga masih ditemui di Madagaskar. Beberapa tanaman pangan dari Nusantara yang dibudidayakan selain padi adalah jenis umbi jalar, talas atau keladi, kacang hijau, dan pisang.
Selain bukti-bukti kesamaan artefak kebudayaan, jejak diaspora orang-orang Nusantara ke Madagaskar adalah adanya kemiripan genetika. Riset terbaru oleh lembaga Eijkman bersama sejumlah ahli, yang dipublikasikan di jurnal Nature Scientific Reports edisi 18 Mei 2016 memperkuat hal ini.
Secara linguistik, bahasa Malagasi yang digunakan orang Madagaskar termasuk dalam kelompok Melayu-Polinesia yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini berkerabat dekat dengan bahasa Barito tenggara, yang kini hanya dituturkan oleh Dayak Ma’anyan. Namun, secara genetik, orang Madagaskar ternyata tidak punya hubungan dekat dengan Dayak Ma’anyan.
Berdasarkan hasil riset, latar belakang genetik Asia dari orang-orang Madagaskar merupakan pencampuran genetik dari beberapa populasi di Nusantara saat itu, yang kemudian bermigrasi melalui laut pada kurun waktu sekitar tahun 400 hingga 1.200 M. Sampai saat ini, kita masih bisa melihat kemiripan wajah dan perawakan antara orang Madagaskar dengan orang Indonesia.
Mengarungi Samudra
Sekalipun bukti-bukti linguistik dan genetik menunjukkan bukti kuat penghunian awal Madagaskar dilakukan oleh orang-orang dari Nusantara, proses migrasinya masih menjadi perdebatan. Ada yang berpendapat ada kemungkinan bahwa kolonisasi Madagaskar oleh masyarakat Nusantara terjadi karena tidak sengaja, misalnya karena kapal hanyut.
Namun, melihat migrasi ke Madagaskar itu sejajar dengan kejayaan kerajaan Sriwijaya, besar kemungkinan kedatangan orang Nusantara ke Madagaskar karena aktivitas perdagangan. Hal itu sesuai dengan berita Arab dari tahun 1154 M yang mengatakan bahwa saudagar-saudagar dari Sriwijaya mengambil besi dari daerah Sofala yang kemudian diperdagangkan di India dan juga di Nusantara. Yang jelas, pada tahun-tahun itu, orang Nusantara telah mampu berlayar dengan sangat baik mengarungi samudra.
Beberapa sumber tertulis dari Eropa dan Arab bahkan menyebutkan adanya tradisi pelayaran jarak jauh orang Jawa ke arah barat untuk urusan perniagaan, dan menjadikan Madagaskar sebagai koloni mereka. Pelaut-pelaut Jawa ini juga berdagang di pelabuhan-pelabuhan Afrika Timur (M.A.P. Meilink-Roelofsz, 2016). Hal ini diperkuat oleh laporan Diogo Lopes yang berlayar dari Lisabon pada bulan April 1508. Dia menyebutkan bahwa di Pantai Timur Madagaskar terdapat kapal-kapal Jawa yang melakukan aktivitas perdagangan.
Selama ini, diperkirakan India berperan aktif merangsang perdagangan awal di Indonesia. Namun ternyata, anggapan tersebut keliru. Terdapat sumber tertulis dari Yunani yang menyebutkan bahwa kapal-kapal dagang utama bukanlah berasal dari India. Bukti adanya para pendatang dari Indonesia yang mengolonisasi Madagaskar memperkuat hal ini.
Sumber berita Tiongkok juga menguatkan kesimpulan bahwa kapal-kapal Asia Tenggaralah yang membentuk tulang punggung sistem angkutan Samudra Hindia.
Kemampuan bahari orang Nusantara bisa ditemukan dari berbagai jenis angkutan kendaraan laut untuk berlayar, di antaranya sampan, perahu, kapal, arumbai, jukung, galai, dan lainnya (A.B. Lapian, 2008).
Jenis-jenis angkutan laut itu mencerminkan kekayaan perbendaharaan alat angkut yang digunakan untuk mengadakan hubungan antarpulau, atau bahkan pelayaran lebih jauh. Tak hanya itu, pelaut Nusantara masa lalu telah mahir membaca angin dan menggunakan navigasi perbintangan.
Dari pelaut Nusantara, navigator Yunani, Hippalus, tahu rahasia angin muson yang mendorong perahu layar dari laut Arab ke pantai India, lalu ke India Timur (Nusantara) pada Oktober-April. Sebaliknya, angin deras meniup perahu dari Nusantara, India, ke laut Arab pada April-Oktober.
Kuatnya tradisi bahari masyarakat Nusantara menunjukkan tingginya peradaban yang dimilikinya. Pelayaran jarak jauh dari ujung Samudra Hindia yang satu ke ujung yang lain menandakan adanya kemampuan yang sempurna mengenai lautan yang dimiliki pelaut Indonesia juga kemampuan dan perlengkapan navigasi yang mumpuni.
Dua kerajaan Bahari, Sriwijaya (abad ke-7) dan Majapahit (abad ke-13 hingga ke-16) juga menjadi bukti nyata kemampuan maritim Nusantara, selain kerajaan pesisir lain yang berabad-abad berkontak dengan India, Tiongkok, dan Arab dengan komoditas rempah.
Tradisi bahari ini masih kuat hingga abad ke-16, pada awal kedatangan orang Barat. Orang-orang Jawa bagian utara kala itu masih dikenal sebagai pembuat kapal sehingga ketika Gurbernus Jenderal Portugis di Goa, Afonso de Alburqueque, meninggalkan Malaka pada 1512, ia membawa serta 60 pembuat perahu dari Jawa.
Ironisnya, jika 1.200 tahun lalu nenek moyang kita telah mampu mengarungi Samudra Hindia hingga mencapai Madagaskar, saat ini mayoritas armada pelayaran kita dikuasai asing. Pengangkutan barang ekspor impor banyak dilakukan oleh jasa armada asing. Bahkan, untuk lalu lintas antarpulau di dalam wilayah Indonesia.
Sumber:
- Kompas edisi Senin, 4 Juli 2016.
- M.A.P. Meilink-Roelofsz, Persaingan Eropa dan Asia di Nusantara: Sejarah Perniagaan 1500-1630, Depok: Komunitas Bambu, 2016.
- J.C. Van Leur, Perdagangan dan Masyarakat Indonesia: Esai-esai tentang Sejarah Sosial dan Ekonomi Asia, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.