Wregas Bhanuteja, Kiprah Sineas Muda Indonesia

1921
Wregas Bhanuteja
Wregas Bhanuteja (Foto: muvila.com)

1001indonesia.net – Raphael Wregas Bhanuteja adalah seorang sineas muda berbakat dari Tanah Air yang berhasil mendapatkan penghargaan di kategori Leica Cine Discovery Prize dalam ajang kompetisi film pendek La Semaine de la Critique di Festival film Cannes 2016.

Penghargaan tersebut ia dapatkan melalui film Prenjak: In The Year of Monkey (2016). Film pendek berdurasi 13 menit ini memukau para juri. Salah satu juri bahkan menilainya sebagai “sebuah film dengan kedalaman puitik yang mengejutkan.”

Film yang diperankan oleh 2 orang ini mengalahkan 9 film lainnya dari berbagai negara yang lolos dalam ajang kompetisi ini. Hebatnya, Wregas Bhanuteja dan para kru lainnya memenangkan penghargaan internasional ini saat usia mereka baru menginjak 23 tahun.

Kecintaan pada Dunia Film

Kecintaan Wregas Bhanuteja pada dunia film berawal saat ia duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu, ia ditunjuk sebagai aktor dalam rangka perlombaan film antarkelas.

Ia begitu bersemangat dalam pembuatan film itu hingga ia ikut mengatur proses pembuatannya, bahkan lebih dari yang dilakukan sutradaranya. Pemuda asal Yogyakarta ini merasa ada hal yang menarik dalam pembuatan film. Wregas telah menonton begitu banyak film hingga ia sangat penasaran dengan proses pembuatannya.

Sejak itu, penggemar sutradara Asrul Sani dan Teguh Karya ini begitu tertarik dengan proses memproduksi film. Ketertarikan ini berlanjut saat ia duduk di bangku SMA Kolose De Brito Yogyakarta. Kebetulan di sekolahnya ada ekstrakurikuler sinematografi.

Merasa mendapatkan ruang berekspresi dan menuangkan ide, ia pun semakin menikmati proses pembuatan film. Kegemarannya dalam membuat film semakin menjadi saat ia mendapatkan kamera Mini DV saat kelas 2 SMA. Selama di SMA, ia membuat belasan film pendek.

Keinginannya untuk terus mengembangkan aktivitas kreatif pembuatan film hampir terhenti ketika orangtuanya melarangnya untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Film dan TV Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Orangtuanya ingin agar anak lelakinya melanjutkan ke jurusan teknik karena sesuai dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam semasa di SMA.

Namun, Wregas begitu mencintai dunia film. Ia berusaha meyakinkan orangtuanya untuk mengizinkannya kuliah di IKJ. Untuk itu, ia mengikuti lomba film nasional antar-SMA dengan film Muffler (2012) dengan harapan orangtuanya akan berubah pikiran dan menyadari bakatnya dalam dunia film.

Meskipun gagal dalam perlombaan, Wregas berhasil meyakinkan orangtuanya untuk mengizinkannya kuliah di IKJ. Hal ini dapat terjadi karena guru pendamping ekstrakurikuler sinematografi dan guru SMA yang lain mengapresiasi apa yang dilakukan Wregas. Mereka juga menginformasikan bakatnya sebagai pembuat film.

Sebagai ucapan terima kasihnya, Wregas membuat film catatan akhir tahun teman-teman satu angkatannya. Lagi-lagi film tersebut mendapat pujian sehingga orangtuanya menjadi lebih yakin akan masa depan anaknya dalam bidang perfilman.

Aktif Mengikuti Festival

Wregas Bhanuteja berhasil mendapatkan perhatian internasional setelah dirinya rajin menyertakan filmnya ke ajang fastival baik nasional maupun internasional. Sutradara muda jebolan IKJ ini telah mengirimkan 5 film ke beberapa festival, yaitu Senyawa (2012), Lemantun (2014), Lembusura (2014), The Floating Chopin (2015), dan Prenjak: In The Year of Monkey (2016).

Empat dari lima film pendek tersebut memiliki ciri khusus, yakni penggunaan bahasa Jawa dengan setting Yogyakarta. Hal ini terkait erat dengan latar belakang budaya Wregas. Meski sudah 6 tahun berada di Jakarta, ia belum bisa melepaskan Yogyakarta dari hati dan pikirannya. Kultur Jawa, terutama Yogyakarta, begitu menyatu dalam dirinya sehingga ia memilih bahasa Jawa karena bahasa inilah yang ia anggap mampu mewakili pesan dan pikirannya.

Film-film besutan Wregas memang berangkat dari pengalaman hidupnya sendiri. Lemantun misalnya, berangkat dari kisah pamannya yang tidak sesukses kakak dan adiknya. Sementara film  Lembusura terinspirasi dari hujan abu yang terjadi akibat letusan gunung Kelud yang melanda Yogyakarta.

Hal serupa juga terjadi dalam pembuatan film Prenjak. Film ini dibuat berdasarkan cerita dari kawannya yang pada waktu SD dulu pernah mengalami fenomena prostisusi terselubung di alun-alun kota Yogyakarta pada malam hari.

Ceritanya, temannya itu ditawari untuk membeli batang korek api dengan harga yang sudah ditentukan oleh seorang penjual wedang rondhe di pojok alun-alun. Dengan korek tersebut, ia bisa melihat alat kelamin si penjual makanan dari bawah meja. Prostitusi terselubung ini populer pada tahun 1980-an. Tentu praktik seperti ini sekarang sudah tidak ada lagi.

Cerita tersebut begitu menarik bagi Wregas hingga akhirnya ia mengangkatnya ke dalam film dalam konteks yang berbeda. Dikisahkan Diah (Rosa Sinegar), sangat membutuhkan uang dalam waktu cepat. Gadis desa ini akhirnya menawarkan korek api seharga Rp 10 ribu per batang kepada Jarwo (Yohanes Budyambara). Jarwo yang tidak tahu maksud Diah awalnya menolak. Namun, Diah mengatakan Jarwo bisa mengintip alat kelaminnya selama korek itu menyala. Dan, itulah jasa yang sebenarnya ditawarkan dengan harga Rp10.000 itu.

Sumber:

  • Bisnis Indonesia Weekend, Minggu, 7 Agustus 2016.
  • http://www.rappler.com/indonesia/133796-5-hal-film-prenjak-festival-cannes-perancis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

twelve + 10 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.