1001indonesia.net – Salah satu tradisi leluhur Suku Gunung dan suku-suku lain di kawasan selatan Kabupaten Manggarai Timur, Flores, yang masih dipertahankan hingga saat ini oleh penerusnya adalah Weri Mata Nii.
Seperti yang dilansir Kompas.com, weri berarti tanam, sedangkanĀ mata nii berarti benih padi. Jadi, secara harfiah Weri Mata NiiĀ berarti menanam benih padi. Penanaman ini dilakukan di lahan kering atau ladang di tanah ulayat Suku Gunung dan Kenge.
Weri Mata Nii adalah warisan turun-temurun Suku Gunung dan suku-suku lainnya saat hendak menanam benih padi di lahan kering atau ladang yang menjadi bagian dari tanah ulayat.
Sebelum menanam benih padi (woja) di lahan kering yang sudah dibersihkan, terlebih dahulu tua adat Suku Gunung dan suku-suku lainnya melaksanakan ritual di sudut lahan. Sesajian dari bahan ayam dan babi dipersembahkan kepada Sang Pencipta, para leluhur, dan alam itu sendiri.
Sebelum dilaksanakan ritual adat, seorang pemuda memegang seekor ayam untuk memberkati benih-benih yang sudah dikumpulkan di sekitar tiang kayu teno (pohon adat) dengan cara memutar di atas benih tersebut.
Pemuda itu lalu menyerahkan ayam yang dipegangnya kepada Ketua DOR (tetua adat pembagi lahan ulayat) suku Gunung untuk melangsungkan ritual adat.
Ketua DOR kemudian meminta restu pada anak Ranar (pemberi perempuan dalam sistem perkawinan adat istiadat orang Manggarai Timur). Setelah itu, ia meminta restu kepada pemilik lahan dan seluruh warga yang hadir dalam ritual tersebut.
Setelah mendapat persetujuan dari pemilik lahan dan warga yang hadir, Ketua DOR lalu meminta restu kepada alam semesta dan para leluhur. Caranya dengan menuangkan air tuak atau sopi lokal dari botol ke gelas mok (gelas berbahan aluminium). Dari gelas mok itu, sebagian air tuak atau sopi dituangkan ke tanah.
Setelah semua restu diperoleh, dimulailah ritual ritual adat Weri Mata Nii. Dengan memegang seekor ayam, Ketua DOR merapal mantra, memohon kepada Sang Pemilik alam semesta, leluhur, dan alam untuk memberkati benih padi yang siap ditanam sehingga bebas dari hama dan ancaman binatang dan mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Darah ayam diteteskan pada benih padi. Seorang pemuda Suku Gunung yang sudah dipercaya tetua adat untuk menyembelih ayam di sekitar kayu teno (pohon teno) meneteskan darah ayam pada benih padi (Mata Nii) yang sudah dikumpulkan dan siap ditanam. Seorang pemuda lain kemudian menyembelih seekor babi.
Masyarakat suku Gunung diharuskan melaksanakan ritual ini sebelum padi ditanam di lahan kering. Warga setempat memercayai, yang tidak melaksanakannya akan mendapat teguran dari para leluhur. Tanaman yang ditanamnya akan gagal panen.