1001indonesia.net – Di daerah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat museum wayang beber bernama “Sekartaji”. Museum tersebut lahir dari kerisauan seorang pemuda bernama Indra Suroinggeno akan keberadaan wayang beber yang terancam punah. Mungkin banyak orang yang tidak tahu wayang beber. Jenis wayang satu ini memang tidak sepopuler wayang kulit purwa, meski usianya jauh lebih tua.
Museum Wayang Beber Sekartaji didirikan pada 1 Oktober 2017. Lokasinya berada di Gg. Pancasila, Dusun Kanutan RT 8, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Melalui museum yang didirikannya, Indra ingin melestarikan serta mengenalkan kembali wayang beber ke masyarakat Indonesia. Selain memajang sejumlah koleksi wayang beber di museumnya, Indra juga melayani jika ada orang yang ingin memesan wayang beber kepadanya.
Wayang beber merupakan salah satu dari sekitar 80 jenis wayang yang ada di Indonesia. Saat ini, banyak di antara beragam jenis wayang tersebut sudah punah. Dari berbagai jenis wayang yang ada, wayang beber adalah yang tertua dan masih bertahan hingga sekarang, meski tidak banyak orang yang mengenalnya.
Istilah beber berasal dari bahasa Jawa ambeber, yang berarti membeber atau membentangkan. Dalam pertunjukan wayang beber, seorang dalang membentangkan gulungan kertas atau kain bergambar (jagong). Ia kemudian menceritakan lakon-lakon wayang dengan ilustrasi gambar tersebut.
Kertas wayang beber berukuran lebar 50–70 cm dengan panjang 360–400 cm. Dalam satu gulungan ada 4 adegan. Untuk mementaskan 1 lakon cerita wayang biasanya dibutuhkan 4 sampai lima gulungan. Pementasannya diiringi alunan musik gamelan, terdiri atas kendang, rebab, kenong, gong, kethuk raras jangga, dan kempul raras lima.
Pada mulanya lakon yang dikisahkan dalam wayang beber adalah Mahabharata ataupun Ramayana, seperti yang dikisahkan pada wayang kulit purwa. Gambarnya masih hitam putih, belum disungging.
Seiring waktu, gambar tersebut diberi warna. Lakon yang disajikan beralih ke cerita Panji yang menceritakan perjalanan Raden Panji Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) mencari kekasihnya, Dewi Sekartaji (Dewi Galuh Candrakirana).
Wayang beber dengan lakon Panji ini sangat populer pada masa Kerajaan Majapahit. Namun, popularitasnya meredup pada masa Mataram Islam. Seiring waktu, wayang beber tenggelam, kalah populer dengan wayang kulit purwa yang semakin digemari orang Jawa.
Keberadaan wayang beber pernah hampir di ambang kepunahan karena hanya ada dua perangkat wayang beber kuno yang masih bertahan, yaitu di daerah Pacitan dan Gunung Kidul.
Lakon wayang beber Pacitan adalah Jaka Kembang Kuning, sedangkan yang ada di Gunung Kidul adalah Remeng Mangunjaya. Kedua kisah tersebut merupakan bagian dari cerita Panji. Diperkirakan usia keduanya mencapai 350 sampai 400 tahun. Yang berada di Pacitan bahkan dipercaya sebagai peninggalan dari zaman Majapahit.
Awalnya, kedua wayang beber tersebut milik Keraton Kasusunan Surakarta. Saat terjadi Geger Pecinan (1740–1743), Sunan dan benda-benda pusaka diselamatkan ke Ponorogo, Jawa Timur. Di antara benda-benda pusaka tersebut adalah seperangkat wayang beber dengan lakon Jaka Kembang Kuning. Sementara wayang beber dengan lakon Remeng Mangunjaya terbawa oleh Pangeran Kajoran yang kemudian diselamatkan oleh Ki Cremoguno.
Tinggal dua perangkat wayang beber itulah yang terselamatkan dari masa lalu. Namun, untunglah ada beberapa orang yang kemudian berusaha untuk melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan wayang beber, seperti yang dilakukan Indra dengan Museum Wayang Beber Sekartajinya.
Dalam upayanya mengenalkan wayang beber ke khalayak yang lebih luas, Indra memajang koleksi lukisan wayang beber karya Bu Ning (Hermin Istirianingsih), Dani Iswardana, dan juga karyanya sendiri. Dipajang juga alat musik gamelan yang digunakan sebagai pengiring pertunjukan wayang beber.
Selain itu, Indra juga menggelar sejumlah program. Melalui Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit yang didirikannya, Indra menggelar program pembelajaran pementasan dan melukis wayang beber serta workshop pembuatan kertas dluwang.
Dluwang atau daluang merupakan kertas yang digunakan sebagai media lukisan wayang beber. Kertas asli Indonesia ini terbuat dari serat paper mulberry (Broussonetia papyryfera Vent). Di Indonesia, tanaman tersebut dinamakan daluang. Masyarakat Sunda menyebutnya dengan nama pohon saeh.
Dluwang sangat cocok sebagai media lukisan wayang beber karena seratnya yang kuat. Di masa silam, kertas yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini digunakan sebagai media penulisan naskah kuno serta sebagai bahan pembuat ketu (mahkota penutupkepala) dan kain tapa.
Menurut Indra, wayang beber dapat menjadi media pembelajaranyang baik bagi pendidikan karakter. Kisah Jaka Kembang Kuning yang tergambar pada Wayang Beber Pacitan, misalnya, mengajarkan betapa pentingnya kejujuran, rasa tanggung jawab, kesetiaan, kesabaran, kerelaan untuk berkorban, dan keteguhan.
Di balik kisah percintaan antara Jaka Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji, kita dapat mengambil pelajaran bahwa tidak ada satu pengorbanan pun yang sia-sia apabila dilakukan dengan niat, tekad, dan usaha yang sungguh-sungguh. Ini bukan hanya untuk urusan cinta, namun juga untuk semua hal yang diperjuangkan manusia.
Itu sebabnya, tak hanya melestarikan wayang beber, Indra juga berkreasi dengan produk budaya tersebut. Menggunakan media wayang beber, Indra menciptakan cerita yang berkaitan dengan kehidupan kita masa kini. Salah satunya adalah Wayang Beber Pancasila yang diciptakannya pada 2017.
Selain sebagai media pembelajaran moral, upaya Indra dalam mengembangkan cerita kekinian juga dimaksudkan untuk menarik minat generasi muda saat ini terhadap wayang beber.
Selain Indra, ada Bu Ning dan Dani Iswardana yang juga berupaya untuk melestarikan dan mengembangkan wayang beber. Bu Ning telah mendedikasikan dirinya sebagai pelukis wayang beber sejak tahun 1985. Banyak karya-karyanya menghiasi ruangan hotel di tanah air hingga ke Perancis dan Suriname.
Adapun Dani Iswardana berkiprah dengan menggagas wayang beber kontemporer pada 2005. Pementasan pertama Dani diselenggarakan di Balai Soedjatmoko, Solo. Wayang beber karya Dani lebih mengarah kepada cerita dengan muatan kritik sosial.
Di Jakarta, ada Komunitas Wayang Beber Metropolitan. Lakon yang dibawakan merupakan kisah kehidupan kaum urban di Jakarta lengkap dengan isu-isu perkotaan dan solusi yang ditawarkan. Wayang Beber Metropolitan bukan wayang yang bisa berdiri sendiri dengan tema dan bentuk yang sudah ada, tetapi terbentuk dari berbagai unsur seni dan pementasan.
Komunitas ini juga menggunakan berbagai fenomena yang ada pada masyarakat modern untuk menentukan bentuk wayang yang akan ditampilkan dalam sebuah pertunjukan.
*Tulisan ini dipublikasikan dalam buku Modul Lokalitas dan Pengetahuan Tradisional. Selengkapnya bisa diunduh di psikindonesia.org.