1001indonesia.net – Vihara Buddha Prabha atau lebih dikenal sebagai Kelenteng Gondomanan karena memang fungsinya sebagai tempat ibadah 2 agama yang berbeda, yaitu Buddha dan Khong Hu Cu. Bangunan tua ini mempunyai nilai sejarah dan spiritual penting bagi masyarakat Tionghoa di Kota Yogyakarta.
Ada 2 pendapat menyangkut tanggal pendirian Kelenteng Gondomanan ini. Sumber pertama mengatakan kelenteng ini berdiri sejak tahun 1846 oleh masyarakat Tionghoa di Yogyakarta. Pendapat ini diperkuat dengan keterangan pemberian hadiah bangunan suci kepada istri Sultan Hamengku Buwono II yang keturunan Tionghoa.
Sumber kedua menyebut bangunan ini berdiri pada 15 Agustus 1900, di atas tanah hibah Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
Pada awalnya, kelenteng yang berlokasi di Jl. Brigjen Katamso No. 3 Kota Yogyakarta ini bernama Fuk Ling Miau (Hokkien: Hok Tik Bio), yaitu tempat kebaktian bagi Hok Tik Ceng Sin (Dewa Bumi).
Namun, pada era Orde Baru, nama bangunan ini diganti dengan Vihara Buddha Prabha karena pada waktu itu hanya terdapat lima agama resmi di Indonesia. Umat Khong Hu Cu dan Toisme didaftarkan sebagai penganut Buddha, dan nama kelenteng diganti dengan nama tempat ibadah Tridharma. Sebab itu, pada masa Orde Baru, kelenteng ini lebih menonjolkan unsur Buddha-nya dan namanya menjadi Vihara Buddha Prabha.
Perubahan terjadi saat Gus Dur menjadi presiden. Presiden keempat RI ini mencabut aturan-aturan yang mendiskriminasikan etnis Tionhoa yang dibuat oleh Orde Baru. Sejak itu, umat Tionghoa lebih bebas melaksanakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat mereka tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama pemerintahan rezim Orde Baru.
Bangunan vihara ini menghadap ke barat, berdiri di atas tanah seluas 1.150 meter persegi dikelilingi oleh halaman yang luas. Bangunannya berbentuk persegi panjang, terdiri atas ruang utama di tengah, ruang sisi utara, ruang sisi selatan, dan ruang belakang. Pada tengah bangunan terdapat pelataran terbuka.
Ciri utama dari arsitektur kelenteng ini adalah tipe Ngang Shan, dengan bubungan yang kedua ujungnya melengkung ke atas. Atapnya dihiasi dua patung naga dengan ekor tegak dan saling berhadapan. Pada bagian tengah patung naga terdapat bola api yang merupakan simbol mutiara bulan. Dalam tradisi Tionghoa, naga melambangkan perlindungan dan kekuasaan, sedang mutiara bulan adalah lambang kesucian.
Pada dinding, tiang, dan bagian bangunan lainnya, banyak terdapat gambar atau ukiran khas Tiongkok. Pada ruang utama Vihara ini terdapat beberapa altar sembahyang lengkap dengan arcanya. Altar yang berada di tengah ruangan merupakan altar pemujaan bagi Buddha Gautama, Dhyani Bodhisatva Avalokitesvara, Prajnaparamita, dan Maitreya. Selain itu, juga terdapat altar untuk memuja Hok Tik Ceng Sin, Day Yang Sing Kun, Day Ing Poo Sat, Kong Tik Coen Ong, dan Thiang Sian Sing Bo yang merupakan tokoh dalam Taoisme.
Pada ruang samping kiri terdapat altar pemujaan bagi Hiang Thiang Siang Tee. Di ruang samping kanan terdapat altar pemujaan bagi Kwan Tee Koen dan Khong Hu Cu. Di ruang belakang terdapat tempat pemujaan tokoh-tokoh Buddha yang berisi arca-arca berukuran kecil yang menggambarkan Buddha Gautama, Dhyani Buddha Amitabha, Bhaisajyaguru Buddha, Dhyani Bodhisatva Avalokitesvara, dan Maitreya. Di ruang atas yang merupakan ruang tambahan, terdapat altar pemujaan bagi Buddha Gautama, Dhyani Buddha Amitabha, Bhaisajyaguru Buddha, Ananda, dan Sariputra.
Bangunan yang berada di bawah naungan Majelis Buddhayana Indonesia ini ditetapkan sebagai cagar budaya pada tanggal 26 Maret 2007 berdasarkan Surat Perintah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. PM.25/PW.007/MKP/2007.
Sumber:
- Gagas Ulung, Wisata Ziarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
- https://www.gudeg.net/direktori/379/vihara-buddha-prabha.html