1001indonesia.net – Menjelang hari raya Idul Fitri, masyarakat Gorontalo punya tradisi unik menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan. Namanya tradisi Tumbilotohe atau Pasang Lampu. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada tiga malam terakhir bulan puasa atau menjelang perayaan Idul Fitri.
Istilah Tumbilotohe merupakan gabungan dua kata, tumbilo yang berarti pasang, dan tohe yang berarti Lampu. Sesuai namanya Tumbilotohe bisa dikatakan sebagai Tradisi Pasang Lampu.
Lampu-lampu yang dipasang adalah lampu tradisional berbahan bakar minyak tanah dengan memanfaatkan botol dan kaleng bekas yang diberi sumbu.
Perkembangan penggunaan lampu dari waktu ke waktu
Tumbilotohe diyakini sudah ada sejak abad ke-15. Pada awalnya, lampu dinyalakan di depan rumah masing-masing sebagai penerangan bagi warga yang ingin melaksankan ibadah di masjid-masjid untuk meraih malam lailatulkadar.
Di masa silam, masyarakat Gorontalo menggunakan wango-wango sebagai lampu penerang. Lampu ini terbuat dari wamuta atau selundang yang dihaluskan dan diruncingkan lalu dibakar. Masyarakat kemudian menggunakan tohetuhu atau damar yang nyalanya lebih lama.
Seiring waktu, tohetuhu diganti lagi dengan lampu dengan minyak kelapa dan sumbu dari kapas. Penerangan ini menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, dan disebut padamala.
Kemudian berkembang lagi, tidak lagi menggunakan minyak kelapa, melainkan minyak tanah. Saat ini, selain lampu minyak tanah, masyarakat Gorontalo juga memanfaatkan ribuan lampu listrik untuk lebih menyemarakkan Tradisi Pasang Lampu ini.
Berkembang menjadi ajang hiburan
Berjalannya waktu, tradisi Tumbilotohe telah berkembang menjadi ajang hiburan. Disebut-sebut Malam Tumbilotohe merupakan malam yang paling ramai di Gorontalo. Biasanya, pada awal pemasangan lampu, dengan ramainya anak-anak melantunkan Lohidu atau kalimat pantun “Tumbilotohe, pateya tohe… ta mohile jakati bubohe lo popatii….“
Lentera Tumbilotohe banyak yang digantung pada kerangka-kerangka kayu dengan hiasan janur kuning (alikusu) menambah keindahan kota gorontalo. Di atas kerangka, digantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Didapati pula beberapa formasi lampu-lampu pada lahan luas yang membentuk gambar Masjid, Kitab Suci Al-quran, Kaligrafi serta Tulisan-tulisan unik lainnya.
Tradisi ini kemudian semakin berkembang dan dijadikan sebagai festival yang menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara. Pada 2007, tradisi ini bahkan masuk dalam rekor Muri. Saat itu, lima juta lampu ikut menerangi Kota Gorontalo.
Baca juga: Tradisi Unik Sambut Lebaran yang Hanya ada di Indonesia