Tuang Guru Haji Maemunah, Kiprah Ulama Perempuan dari Maluku

oleh Siti Muniroh

1891
Kongres Ulama Perempuan Indonesia digelar di Cirebon (25-27 April 2017) dihadiri ratusan ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia dan juga dari mancanegara. (Foto: Andy Lala/VOA)

1001indonesia.net – Ulama perempuan Indonesia memiliki peran besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendapat ini diteguhkan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang berlangsung pada 25-27 April 2017 di Cirebon. Meski kiprahnya jarang didengar, banyak ulama perempuan di Indonesia yang berperan dalam menyelesaikan permasalahan dan mengembangkan pendidikan masyarakat di lingkungannya. Salah satu di antara ulama perempuan tersebut adalah Nene Haji Muna atau lengkapnya Tuang Guru Haji Maemunah.

Nene Haji Muna berasal dari Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Ia diberi gelar “tuang guru” oleh para muridnya. Sebutan ini biasanya disematkan kepada laki-laki Maluku yang berpengetahuan luas. Namun, para murid Nene Haji Muna enggan menggantinya dan tetap memanggil namanya dengan sebutan tersebut. Ini karena murid-muridnya begitu hormat terhadapnya karena keluasan ilmu yang dimiliki dan bimbingan yang diberikan oleh Nene haji Muna kepada mereka.

Nama lengkapnya adalah Maemunah (Tuang Guru Haji Maemunah). Lahir pada 12 Juni 1932 di Morella. Ia datang ke negeri Ori akhir tahun 1960-an atau awal 1970-an (30 tahun setelah negeri itu terbentuk).

Sejak lahir hingga dewasa, ia tidak pernah meninggalkan Morella. Di negeri ini, ia belajar ilmu pengetahuan agama Islam kepada H. Daud Latulanit (kakeknya), Karaeng Sirr, dan Karaeng Tabah (keduanya ulama Makassar). Ia juga belajar pada suaminya sendiri, Haji Ali Marassabessy.

Dalam keluarga besarnya, ia merupakan anak perempuan yang cerdas. Di antara teman-teman sebayanya, ia juga seorang yang lebih menonjol.

Pada masa kecilnya, para perempuan Maluku yang beragama Islam umumnya tidak diizinkan mengenyam pendidikan formal di sekolah umum karena sekolah-sekolah tersebut didirikan oleh Belanda. Para orangtua khawatir anak-anak mereka menjadi Kristen.

Jika anak yang beragama Islam telah selesai menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Melayu dan ingin melanjutkan ke sekolah umum, maka ia harus dipastikan bisa membaca Qur’an terlebih dahulu. Muna kecil pun lebih banyak mengikuti pendidikan non-formal dari ulama laki-laki yang sudah penulis sebut di atas.

Terdapat adat pembagian peran di dalam masyarakat Morella berdasarkan beberapa keluarga besar yang berasal dari satu dusun yang sama. Nene haji Muna berasal dari dusun Iyal Uli. Peran yang diberikan oleh masyarakat adat ini kepada orang-orang Iyal Uli adalah memegang kepercayaan sebagai pengurus masjid, yang berarti pula tempat masyarakat bertanya mengenai ilmu-ilmu agama.

Latulanit adalah salah satu marga Iyal Uli dari beberapa marga lain di dalamnya. Oleh karenanya, haji Muna memikul amanah ini dengan cara memperdalam ilmu agama Islam dan menyebarkannya kemudian. Kenyataan inilah kiranya yang membuat ia menjadi tokoh penting negeri Ori di kemudian hari.

Metode Pendidikan

Setelah menikah, Muna dan suaminya H. Ali Marasabessy pergi meninggalkan tanah kelahirannya menuju negeri Ori. Tujuan awalnya adalah untuk berdagang. Barang yang mereka jual adalah alat-alat rumah tangga dan pakaian. Suaminya berdagang alat-alat rumah tangga dan Nene Haji Muna berdagang pakaian. Aktivitas dagang dilakukan pada siang hari. Malamnya, sebagian besar penduduk sering mendatangi H. Ali Marasabessy untuk bertanya soal-soal agama.

Ilmu pengetahuan agama Nene Haji Muna juga sangatlah dalam. Ia dapat mengartikulasikan wacana agama yang dimilikinya dengan adat dan situasi sosial di lingkungannya. Hal ini juga ditopang oleh pengalaman-pengalaman yang dimiliki dan direnungkannya untuk mencoba-coba metode pendidikan yang lainnya.

Ia memberi pelajaran dengan dua metode pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan formal. Yang kedua adalah pendekatan belajar dengan praktek atau disebut belajar “terjun langsung” . Yang dimaksud dengan metode pendekatan kedua ini yakni pengajaran yang tidak hanya berbicara mengenai teori-teori ilmu tertentu tetapi juga langsung dipraktikkan di tempatnya langsung.

Misal, dalam mengajarkan kepada perempuan-perempuan yang baru pertama kali mendapat haid, ia mengajak anak-anak perempuan tersebut ke sungai. Di sana, ia ajarkan tentang bagaimana mencuci diri dari hadast besar dan mandi besar beserta doa-doanya. Dalam mengenalkan fajar, menjelang subuh, para murid diajak ke pantai. Pada saat waktunya tiba, ia mengajak para murid untuk membaca doa-doanya.

Nene Haji Muna juga membuat kelas khusus untuk perempuan, selain mengajarkan cara mandi besar bagi perempuan yang telah selesai haid, juga mengajarkan bagaimana menjadi ibu dan istri sesuai dengan ajaran Islam.

Membentuk Majelis Dzikir

Kelebihan lain dari keulamaan Tuang Guru Haji Maemunah ini adalah ia membentuk majelis dzikir. Ternyata pengikut paling banyak dari majelis ini adalah laki-laki. Majelis ini berlanjut hingga sekarang meski Nene Haji Muna telah wafat.

Beberapa murid di majelis dzikir ini bercerita bahwa Tuang Guru Haji Maemunah selalu membuka majelis dengan membakar kemenyan sebagai prasyarat. Setelah itu dia menyerahkan bacaan selanjutnya kepada para murid tertentu yang dia percaya. Saat dzikir mulai dilantunkan, ia duduk bersama jemaah perempuan yang berada di bagian belakang.

Nene Haji Muna tampaknya adalah seorang murid yang berbakti. Murid-muridnya sering mengatakan kalau ia selalu mengirimkan al-Fatihah kepada guru-gurunya dan bertawassul kepada mereka.

Para anggota majelis juga melafalkan dzikir atas komando Nene Haji Muna. Menurut pengakuan mereka, tawassul bersama ini ditujukan kepada para guru Nene Haji Muna dan untuknya juga.

Beberapa muridnya juga mengatakan bahwa Tuang Guru Haji Maemunah lebih banyak menurunkan ilmu hakikat ketimbang syariat bagi para murid dewasa. Hal ini menurut mereka bahwa ada kemungkinan Tuang Guru meyakini kalau ilmu syariat telah selesai mereka pelajari dan sudah saatnya mendalami ilmu hakikat.

Tuang Guru Haji Maemunah wafat pada tanggal 23 Februari 2008 di Morella, negeri tempat dia dilahirkan, belajar ilmu agama lalu tumbuh dan berkembang.

Dari kisah usahanya dalam mengembangkan ilmu agama dan membentuk majelis dzikir, Nene Haji Muna dapat dikatakan mencoba untuk menyetarakan antara laki-laki dan perempuan. Amat jarang kita dengar bahwa seorang perempuan membentuk majelis dzikir, tapi dia telah melakukannya. Anggotanya pun ternyata banyak laki-laki.

*) Sumber utama artikel ini adalah tulisan Faidah Azuz Sialana berjudul “Guru Para Lelaki Itu bernama Haji Maemunah” dalam Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan Indonesia, KH. Helmy Alie Yafie, Ed., KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), 25-27 April 2017, hal. 297–296.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × 5 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.