1001indonesia.net – Orang mungkin akan mengatakan bahwa kesenian khas Indramayu-Cirebon di wilayah pesisir pantai utara (pantura) Jawa Barat ini bukan kesenian tradisional. Adanya gitar yang jelas bukan alat musik asli Indonesia dalam tarling (gitar-suling) menjadi penyebabnya.
Namun, para seniman tarling beranggapan bahwa ini adalah kesenian tradisional. Jika didengarkan, petikan gitar dalam tarling adalah bunyi laras gamelan yang bersifat pentatonik. Dengan kata lain, tarling adalah kesenian yang memindahkan musik dari perangkat gamelan ke instrumen gitar-suling.
Pada perkembangan berikutnya, banyak kelompok kesenian tarling yang meninggalkan kekhasannya yang pentatonik ini dan menambah instrumen baru dalam pertunjukannya, seperti instrumen organ (keyboard). Kesenian tarling kemudian menjadi industri hiburan.
Sementara yang mempertahankan instrumen pokok gitar dan suling dengan laras gamelan disebut tarling klasik. Salah satu kelompok kesenian tarling yang masih teguh mempertahankan tarling klasik ini adalah kelompok Candra Kirana dari Cirebon.
Sejarah Tarling
Kesenian tarling berawal ketika suatu hari di tahun 1931, seorang komisaris Belanda datang ke rumah Mang Sarkim membawa gitar. Sang komisaris meminta pembuat gamelan dari Desa Kepandean, Indramayu itu untuk memperbaiki gitarnya.
Setelah sekian hari Mang Sarkim berhasil memperbaikinya, gitar tak kunjung diambil oleh pemiliknya. Sejak awal, Mang Sarkim telah berusaha memahami nada-nada gitar tersebut. Ia membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan yang dia kuasai. Tidak segera diambilnya gitar oleh sang pemilik memberinya lebih banyak waktu untuk mempelajarinya.
Anak Sakim bernama Sugra, yang juga suka gamelan, kemudian bereksperimen. Ia memainkan nada-nada pentatonis gamelan dengan gitar. Akhirnya, terpadulah alat musik Barat modern itu dengan kekhasan nada-nada gamelan Indramayu. Sampai suatu ketika, mengalunlah tembang-tembang kiser Dermayonan, Bendrong, Cerbonan Pegot, dan seterusnya, dengan iringan petikan gitar.
Saat itu, gitar masih dianggap sebagai instrumen kelas atas yang hanya dimainkan orang Belanda atau priayi semata. Sugra-lah yang telah berjasa membuat gitar sebagai alat musik yang merakyat. Hasil olahannya dalam memadukan tembang Dermayonan dengan alat musik gitar bahkan mewabah di kalangan anak muda.
Peristiwa pertemuan Sakim dengan Komisaris Belanda nyaris dilupakan orang. Orang cenderung menilai tarling sebagai ekspresi kesenian rakyat. Sejak awal, tarling memang tidak pernah terumuskan dalam bentuk jadi dan baku.
Pada periode 1938–1940-an, Sugra melakukan pembaruan dalam pertunjukan tarling. Ia memasukkan unsur drama dalam pertunjukkannya. Saat itulah, lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat Balen, dan Lair Batin ciptaannya menjadi populer di masyarakat.
Tarling kemudian berkembang pesat sebagai kesenian rakyat dan mencapai puncak kejayaannya pada era 1970–80-an. Dalam perkembangannya, kesenian yang menggabungkan kesenian tradisional khas Dermayonan dan Cerbonan, instrumen gitar, dan unsur drama ini terus mengalami improvisasi dan penambahan. Meski pada pokoknya, tarling terdiri atas tiga unsur, yakni pagelaran musik, tembang, dan drama. Ketiganya menyatu dalam pementasan khas yang mengusung tema kedaerahan.
Bisa dibilang, kesenian tarling mengikat dua simpul penting. Pertama, keberakarannya pada tradisi gamelan. Kedua, kemampuan kesenian Dermayu-Cerbon untuk bersikap spontan dan terbuka pada perkembangan dan kondisi sosial masyarakatnya sehingga tercipta sebuah kesenian yang terus bergerak dan menyerap berbagai macam unsur.
Sifat kesenian ini seiring dengan sifat masyarakat Dermayu-Cerbon yang unik. Berada di tengah dua kebudayaan, masyarakat Dermayu-Cerbonan bukanlah pemeluk budaya Jawa (Tengah), bukan pula pemeluk tradisi Sunda. Itu sebabnya, sebagian besar warganya menciptakan tradisi yang bersifat sinkretik, baik dalam adat istiadat, pranata sosial, kesenian, maupun dalam kerohanian mereka.
Sumber:
- Hariadi Saptono ed., Warisan Budaya Wangsa Cerbon-Dermayu, Jakarta: Bentara Budaya Jakarta, 2013