Tari Pakarena, Salah Satu Ikon Budaya Masyarakat Gowa

1927
Tari Pakarena
Memiliki gerakan yang indah, Tari Pakarena berkembang dari perannya sebagai bagian dari ritual pemujaan menjadi seni pertunjukan. (Foto: vorvit.blogspot.com)

1001indonesia.net – Tari Pakarena merupakan salah satu ikon budaya masyarakat Gowa di Sulawesi Selatan. Dulu tari klasik ini menjadi bagian dari ritual pemujaan kepada para dewa. Seiring waktu, karena keindahan serta keunikan geraknya, tarian ini berkembang menjadi seni pertunjukan.

Tarian tradisional ini dimainkan oleh penari wanita dengan iringan alat musik gandrang dan puik-puik, dengan lagu khas daerah Makassar berjudul Dongang-dongang. Gandrang merupakan alat musik perkusi yang terbuat dari kepala drum, sementara puik-puik merupakan alat musik tiup seperti seruling.

Gerakan Tari Kipas Pakarena menggambarkan kisah perpisahan boting langi (khayangan) dengan lino (bumi). Konon, sebelum berpisah, penghuni boting langi mengajarkan cara bertahan hidup kepada para penghuni lino, di antaranya mengenai cara bercocok tanam, beternak, serta berburu.

Gerakan-gerakan tari ini menjadi bagian dari ritual untuk mengungkapkan rasa syukur kepada boting langi. Setiap gerakan-gerakan pada tarian tersebut mengekspresikan kelembutan, kesantunan, kesetiaan, kepatuhan, serta hormat masyarakat perempuan Gowa kepada laki-laki.

Para penari menari dengan gerakan tangan yang lambat, langkah yang tenang, dan musik yang bergemuruh. Para penari tersebut juga tidak diperbolehkan membuka matanya terlalu lebar. Mereka menari dengan tenang dan kaki yang diangkat hanya sedikit (tidak boleh terlalu tinggi). Gerakan tersebut mencerminkan sifat wanita Makassar yang lemah lembut dan gemulai.

Tari Pakarena di Pulau Selayar pada masa Hindia Belanda. (Foto: Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures/Wikimedia.org)

Tari Pakarena sudah dikenal oleh masyarakat Gowa Sulawesi Selatan pada masa Kerajaan Gantarang. Dulu tari ini hanya digelar di dalam istana Kerajaan Gowa oleh putri-putri bangsawan saat upacara adat dan pesta kerajaan.

Para penari mengenakan baju bodo, pakaian khas masyarakat Bugis. Selain itu, para penari juga mengenakan sarung/top, selendang, dan membawa kipas yang menjadi ciri khas dari tari ini.

Dulu kipas yang digunakan terbuat dari anyaman daun enau ataupun daun lontar, namun kipas seperti itu sudah jarang ditemukan. Kini kipas pakarena digantikan dengan kipas yang terbuat dari kayu, kertas, dan kain yang bentuknya melengkungan dengan jari-jari berjumlah sebelas.

Anggi Angraini (2019) dalam skripsinya yang berjudul Makna Filosofis Tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo di Kel. Tombolo Kec. Somba Opu Kab. Goa (Studi Semiotika) mengungkapkan, Tari Pakarena memiliki konsep sulapa appa atau empat filsafat kehidupan yang melukiskan sifat manusia sebagai air, api, angin, dan tanah.

Sifat air manusia ditunjukkan saat penari menutup kipasnya secara perlahan. Artinya, manusia memiliki sifat air yang tenang dan memiliki tempat asal (seperti hulu sungai). Selain itu manusia juga tujuan yang ingin dicapai (seperti hilir sungai). Manusia akan terus bergerak mencapai tujuannya sebagaimana air yang mengalir dari hulu ke hilir.

Sifat api manusia ditunjukkan saat penari bergerak turun, namun kemudian bergerak naik lagi. Gerakan tersebut mencerminkan sifat api, yaitu emosi manusia yang tidak stabil.

Sifat angin ditunjukkan saat penari bergerak ke kanan dan ke kiri bersama dengan kipas yang terbuka. Gerakan tersebut menunjukkan sifat angin, yaitu manusia yang bisa pergi ke mana saja, bisa terbawa oleh angin, ataupun teguh dalam pendiriannya sendiri.

Adapun sifat tanah ditunjukkan saat penari duduk. Duduk mencerminkan bahwa manusia suatu saat akan kembali ke tanah (mati).

Baca juga: Makna Filosofis Pertunjukan Tari Barong Bali

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

nine − 3 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.