Talang Mamak, Kisah Pilu Suku Asli Indragiri Hulu

2609
Suku Talang Mamak
Foto: goindospot.com

1001indonesia.net – Kehidupan masyarakat asli di Indonesia masih tidak menentu. Pembangunan yang dilakukan dengan dalih pemberdayaan justru sering membuat mereka tak berdaya. Mereka juga sering mengalami diskriminasi hanya karena menganut kepercayaan leluhur yang kebetulan tidak dianggap sebagai “agama resmi” negeri ini.

Hal tersebut dialami oleh Talang Mamak, suku asli Indragiri Hulu (Inhu), Riau, yang masih menganut kepercayaan leluhur mereka, Langkah Lama. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa kepercayaan lokal dapat dicatat di kartu tanda penduduk elektronik belum sepenuhnya dapat mereka nikmati (Kompas, 17/03/2018).

Keputusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 itu belum memberikan dampak signifikan terhadap pencatatan pernikahan berdasarkan kepercayaan adat. Hal itu menyebabkan masyarakat adat yang sudah menikah masih kesulitan memperoleh kartu keluarga yang menjadi dasar pencatatan KTP maupun penerbitan akta kelahiran untuk anak-anak mereka.

Tak hanya dalam urusan administrasi kependudukan, mereka juga semakin sulit dalam menjalankan tradisi leluhur yang selama ini mereka pegang teguh. Cara hidup tradisional masyarakat adat Talang Mamak yang menyatu dengan alam, kepercayaan mereka yang sangat terkait dengan keberadaan hutan, mendapat tantangan keras, terutama dari sifat serakah manusia yang ingin menguasai sumber daya alam untuk dieksploitasi. Sayang, alih-alih melindungi masyarakat adat, terkadang negara justru berada di belakang orang-orang serakah tersebut.

Talang Mamak merupakan suku asli atau suku yang pertama datang ke Indragiri Hulu (Inhu), Riau. Ada dua versi menyangkut asal usul suku yang termasuk dalam masyarakat Proto Melayu tersebut.

Versi pertama, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Obdeyn, seorang Asisten Residen Indragiri Hulu pada zaman Belanda. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Suku Talang Mamak berasal dari Pagaruyung, Sumatra Barat. Mereka pindah dari tempat asal mereka karena terdesak akibat konflik adat dan agama.

Sementara versi kedua berasal dari cerita turun-menurun dalam masyarakat adat itu. Konon katanya, Talang Mamak adalah keturunan Nabi Adam ke tiga. Cerita itu diperkuat bukti berupa jejak tapak kaki manusia di daerah Sungai Tunu Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu. Masyarakat setempat meyakini jejak itu sebagai tapak kaki tokoh masyarakat adat Talang Mamak.

Hutan Adat

Keberadaan Talang Mamak sejak dulu sangat terkait dengan hutan di sekitar mereka. Hutan bukan hanya tempat mereka menggantungkan hidup, tapi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kepercayaan asli mereka. Mereka meyakini adanya roh-roh leluhur yang bersemayam di kawasan hutan.

Sayang, kini hutan keramat (Rimba Puaka) yang mereka jaga sudah musnah. Menurut Laman, hutan yang dijaga oleh Suku Talang Mamak dirambah mulai tahun 2004. Kerusakan tersebut sungguh ironis karena setahun sebelumnya, Laman yang saat itu menjabat sebagai Patih (kepala adat tertinggi) Suku Talang Mamak mendapat Kalpataru, penghargaan di bidang pelestarian lingkungan, dari Presiden Megawati.

Patih Laman dinilai berjasa telah menjaga Rimba Puaka Penyabungan dan Panguanan di Kecamatan Rakim Kulim seluas 1.813 hektare. Kini hutan keramat Suku Talang Mamak tersebut telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Perambahan juga di hutan keramat Suku Talang Manak lain, yaitu hutan Sungai Tunu seluas 104,933 hektare, hutan Durian Cacar seluas 98.577 hektare, dan hutan Kelumbuk Tinggi Baner 21.901 hektare.

Perambahan hutan Sungai Tunu juga mengancam peninggalan leluhur Talang Mamak, tempat jejak tapak kaki leluhur suku itu. Meskipun perusahaan perkebunan kelapa sawit membiarkan jejak tapak kaki tersebut, tetapi Suku Talang Manak merasa terhina oleh penguasaan lahan tersebut yang mengubah hutan alami menjadi perkebunan sawit.

Patih Laman pernah melakukan protes terhadap konversi hutan adat menjadi kebun kelapa sawit. Laman melakukan aksi semadi di sebuah gubuk hutan sendirian selama tiga pekan. Karena tubuhnya yang sudah renta, ia tidak bisa lagi bertahan dan jatuh sakit.

Di tengah sakitnya, ia berangkat ke Pekanbaru untuk mencari dukungan wartawan dan lembaga swadaya masyarakat pemerhati lingkungan untuk mengembalikan Piala Kalpataru. Namun, karena terdapat perbedaan pendapat di kalangan LSM pemerhati lingkungan sehingga pengembalian Kalpataru itu batal.

Protes yang dilakukan Patih Laman tak didengar. Hutan adat Talang Mamak tak bisa dipertahankan. Hilang sudah rimbunnya pohon-pohon alami tempat berlindung berbagai satwa, diganti oleh jajaran pohon-pohon sawit.

Hancurnya hutan alami sama saja dengan menghancurkan kehidupan masyarakat adat ini. Padahal Suku Talang Mamak telah memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya bisa menyejahterakan mereka dari generasi ke generasi.

Talang Mamak, yang tergolong suku Melayu tua, menempatkan Rimba Puaka sebagai hutan simpanan yang terlarang untuk diperjualbelikan hingga untuk ditebang dan perburuan binatang juga terbatas. Rimba Puaka berfungsi sebagai sumber untuk obat-obatan alami, dan penyangga penting bagi keberlangsungan ekosistem tanah perkebunan dan ladang mereka.

Sayangnya, kebijakan pemerintah sejak masa Orde Baru sering memaksakan sebuah perubahan yang tidak sesuai dengan cara hidup setempat. Padahal sistem yang sudah diberlakukan masyarakat tersebut yang secara turun-menurun terbukti mampu menjaga keberlangsungan hidup suku dan menjaga kelestarian alam sekitar.

Dengan alasan pemberdayaan, pemerintah memaksakan sebuah konsep pembangunan yang tidak sesuai dengan hukum adat setempat dan tidak menghormati hutan adat. Hasilnya, jangankan membuat masyarakat adat menjadi lebih baik, kehidupan mereka justru semakin tertinggal.

Di satu sisi, mereka kehilangan sumber daya alami yang sebelumnya mereka miliki sehingga tidak lagi bisa bertahan dengan cara hidup lama. Di sisi lain, pembangunan yang dilakukan pemerintah belum mampu mengangkat derajat kehidupan mereka. Perkebunan sawit dan tanaman industri lainnya belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Talang Mamak.

Yang jauh lebih memprihatinkan dengan hilangnya hutan adat adalah Suku Talang Mamak menjadi semakin sulit untuk menjalankan tradisi dan kepercayaan mereka. Hutan merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan tradisional masyarakat Talang Mamak. Merampas hutan adat mereka sama saja mencabut akar kehidupan masyarakat adat Talang Mamak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

1 × five =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.