1001indonesia.net – Perhelatan tabuik diadakan di kota Pariaman, Sumatra Barat. Festival ini dilakukan untuk menyambut bulan Muharram dan memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yakni Hussein bin Ali bin Thalib yang jatuh pada 10 Muharram. Tradisi ini sendiri diperkirakan sudah ada sejak abad ke-19.
Perayaan tabuik diadakan dengan mengelar ritual-ritual terkait kisah kematian tragis Hussein bin Ali bin Thalib dalam perang di Padang Karbala pada tahun 61 Hijriah. Istilah “tabuik” berasal dari bahasa Arab “tabut” yang berarti peti kayu. Nama tersebut mengacu pada kisah tentang kemunculan makhluk berwujud kuda berkepala manusia dan bersayap lebar yang disebut buraq. Dalam kisah itu, buraq menerbangkan jenazah cucu nabi dalam kotak kayu berhias payung mahkota ke langit.
Berdasarkan kisah inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya. Tabut terdiri atas tiga sampai lima tingkat dengan tinggi sekitar 6 sampai 15 meter. Tabut dibuat dari bingkai bambu dan batang sagu yang dibungkus dengan kertas berwarna warni, kemudian dihias dengan menggunakan bunga kertas bermacam warna.
Menurut kisah yang diterima masyarakat secara turun temurun, perayaan ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Tabuik pada masa itu masih kental dengan pengaruh dari Timur Tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan Benggali penganut Syiah. Pada 1910, muncul kesepakatan antar-nagari untuk menyesuaikan perayaan dengan adat istiadat Minangkabau. Jadilah perayaan yang bentuknya seperti yang ada saat ini.
Festival ini dibagi menjadi dua, yakni Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya dirayakan menggunakan adat khas Minangkabau. Tabuik Pasa atau pasar berada di wilayah selatan sungai yang membelah Pariaman, sedangkan Tabuik Subarang berasal dari daerah seberang.
Awalnya, hanya ada Tabuik Pasa. Sekitar 1915, ada permintaan dari sekelompok masyarakat untuk membuat tabuik yang lain. Atas kesepakatan para tetua nagari, perayaan ini dibuat juga di daerah seberang Sungai Pariaman yang dinamakan Tabuik Subarang. Perayaan yang baru dibuat tersebut tetap mengikuti tata cara yang sebelumnya telah berlaku di wilayah Pasa.
Sampai saat ini, kebudayaan masyarakat Pariaman ini terus dilaksanakan setiap bulan Muharram. Perayaan budaya ini sekarang sudah menjadi kegiatan budaya nasional dan menjadi bagian dari kalender pariwisata Kota Pariaman. Peran pemerintah dinilai penting dalam upaya melestarikan tradisi ini.
Sejak dijadikan sebagai bagian dari kalender pariwisata Kota Pariaman dan biaya pelaksanaannya diambil dari pendapatan daerah, terjadi berbagai perubahan dan penyesuaian. Beberapa perubahan ini juga terjadi karena perkembangan zaman yang semakin modern sehingga banyak nilai-nilai tradisional yang dulunya dipegang masyarakat, sekarang mulai bergeser. Beberapa penyesuaian tersebut di antaranya:
1. Penyesuaian waktu pelaksanaan acara puncak
Meskipun prosesi ritual awal perayaan tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, saat perayaan tahun baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncak dari tahun ke tahun berubah-ubah. Puncak acara tidak lagi harus pada tanggal 10 Muharram.
2. Penyesuaian bentuk kepala buraq
Kepala buraq pada kerangka tabuik telah mengalami perubahan bentuk. Kepala buraq yang dulu tidak sama dengan kepala buraq yang sekarang. Dulu, kepala buraq hanya berbentuk patung saja atau hanya sebagai simbol. Sekarang, kepala buraq ada yang berbentuk kepala wanita memakai jilbab serta didandani dan ada juga yang berbentuk kepala lelaki yang dipakaikan topi dan diberi hiasan kumis dan jenggot serta dengan wajah yang dilukis menyerupai manusia. Hal ini dilaksanakan semata-mata untuk membuat perayaan menjadi lebih meriah serta menarik perhatian masyarakat yang menyaksikannya.
3. Penyesuaian bahan pada rangka tabuik
Dulu, kerangka terbuat dari bambu yang telah melalui proses yang panjang sebelum digunakan. Proses tersebut terdiri atas proses siraman air, jampi-jampi, dan pemotongan ayam. Jampi-jampi dilakukan oleh auang tuo adat yang berperan sebagai dukun atau pawang.
Namun, sekarang, bahan dari kerangka tabuik tidak seutuhnya lagi terbuat dari bambu, tapi juga dari besi. Kerangka yang terbuat dari besi bisa digunakan pada acara berikutnya. Bbahan besi tersebut tidak melalui proses ritual yang panjang seperti dulu lagi. Bahan besi digunakan agar rangka tabuik menjadi tahan lama dan pada bagian sayapnya bisa berkepak seperti burung. Hal ini yang membuat tabuik menjadi lebih hidup sehingga penonton yang menyaksikannya akan lebih bergairah dan perayaan menjadi lebih meriah.
4. Auang tuo
Auang tuo adalah orang yang dipercaya untuk memimpin prosesi tabuik. Dulu, demi menjaga kesakralan tabuik, auang tuo yang bertugas memimpin perayaan dipilih secara turun-menurun. Namun sekarang, tradisi itu tidak lagi berjalan. Semenjak perayaan ini dipegang oleh pemerintah, tabuik tidak sepenuhnya lagi dijalankan oleh auang tuo, tapi dilaksanakan oleh masyarakat Kota Pariaman.
5. Pelarungan
Setelah di-hoyak, tabuit lalu dilarung ke laut ke laut. Dulu, rangka tabuik yang dilarung ke laut akan diambil oleh masyarakat untuk dijadikan jimat dan obat-obatan. Masyarakat berbondong-bondong turun ke laut untuk mengambil sisa-sisa dari rangka tabuik tersebut. Sekarang, kebiasaan masyarakat ini sudah tidak ada lagi.
5. Hoyak tabuik
Dulu, tabuik yang di-hoyak harus diadu sampai hancur, atau minimal ada salah satu yang hancur. Untuk tabuik yang menang, para pembuatnya akan mendapatkan status sosial yang lebih tinggi. Namun sekarang, menang atau kalah, status pembuatnya sama saja di mata masyarakat karena prosesi hoyak tabuik dipahami sebagai simbol semata.
Penyesuaian juga terjadi pada pelaksanaan hoyak tabuik. Dulu, saat tabuik diadu, harus sampai ada korban karena untuk mendramatisasi perjuangan Husein pada masa lampau. Namun sekarang, hal ini tidak lagi terjadi. Pelaksanaan perayaan mengutamakan keselamatan orang-orang yang turut dalam acara tersebut. Untuk menentukan menang-kalahnya, cukup salah satu tabuik hancur tanpa harus memakan korban.
Pelaksanaan perayaan ini didukung oleh semua lapisan masyarakat di Kota Pariaman secara bergotong royong. Bahkan orang-orang Pariaman yang merantau ikut mendukung. Mereka akan pulang kampung untuk menyaksikan kemeriahan perayaan. Tabuik menjadi salah satu alasan kuat bagi warga Kota Pariaman yang merantau untuk pulang ke kampung halaman. Tradisi ini terbukti mempererat ikatan antarwarga Kota Pariaman.
Rangkaian tradisi tabuik di Pariaman terdiri dari tujuh tahapan ritual, yaitu mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban (maarak saroban), tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan melarung tabuik ke laut.
Prosesi mengambil tanah dilaksanakan pada 1 Muharram. Menebang batang pisang dilaksanakan pada 5 Muharram. Mataam pada hari ke-7, dilanjutkan dengan mangarak jari-jari pada malam harinya. Pada keesokan harinya dilangsungkan ritual mengarak sorban.
Pada hari puncak, dilakukan ritual tabuik naik pangkek, kemudian dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Hari puncak ini dahulu selalu jatuh pada tanggal 10 Muharram. Namun, seperti yang telah diungkapkan, saat ini setiap tahunnya bisa berubah-ubah antara 10-15 Muharram. Biasanya disesuaikan dengan akhir pekan. Sebagai ritual penutup, menjelang magrib, tabuik diarak menuju pantai dan dilarung ke laut.
Pantai Gandoriah yang menjadi titik pusat perhatian seakan menjadi lautan manusia, khususnya menjelang prosesi tabuik diarak menuju pantai. Perayaan ini memang menarik banyak wisatawan, baik turis lokal maupun mancanegara.
Ajang ini tidak saja dimanfaatkan sebagai ajang budaya, tetapi sekaligus juga sebagai promosi wisata alam. Pariaman memiliki wisata bahari, seperti Pantai Kata, Pantai Cermin, dan Pantai Gondoriah. Selain itu, juga ada empat pulau yang dapat dikelola sebagai objek wisata bahari. Pesta budaya ini sekaligus merupakan kesempatan untuk mempromosikan wisata bahari yang ada di Pariaman.
Sumber:
- http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/festival-tabuik-perhelatan- akbar-masyarakat-pariaman
- Maezan Kahlil Gibran, “Tradisi Tabuik di Kota Pariaman,” JOM FISIP Vol. 2 No. 2 Oktober 2015.