1001indonesia.net – Suster M. Brigitta Renyaan adalah salah seorang yang terlibat aktif dalam proses rekonsiliasi ketika terjadi konflik yang mengatasnamakan agama (Islam vs. Kristen) di Ambon. Bersama jaringan lintas iman, dari Protestan dan Muslim, Suster Brigitta membentuk sebuah kelompok bernama Gerakan Perempuan Peduli (The Concerned Women Movement Group).
Suster Brigitta sendiri adalah koordinator Gerakan Perempuan Peduli dari agama Katolik. Kehadiran Gerakan Perempuan Peduli (GPP) sangat membantu mengurangi tingkat konflik dan permusuhan yang terjadi di Maluku sejak 1999. Mereka sangat gigih memperjuangkan perdamaian.
Gerakan mereka dipelopori oleh para perempuan. Sebagian dari mereka adalah para ibu. Perempuan dan para ibu adalah kelompok yang menderita dalam konflik di Maluku dan di mana pun.
Sejak konflik di Maluku pada 1999 berlangsung, Suster Brigitta dan kawan-kawan dari komunitas lintas iman bergerak menyuarakan pentingnya menghentikan kekerasan.
Tindakan mereka tentu bukan tanpa risiko. Mereka harus menghadapi ancaman teror akan dibunuh oleh pihak-pihak tertentu. Namun, ia tidak gentar dengan ancaman itu. Ia terus bergerak menyampaikan dan memperjuangkan perdamaian.
Ia bercerita, ketika konflik di Maluku pecah, ada begitu banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Mereka adalah kelompok yang paling rentan. Ia merasa perlu menghentikan ini.
Melalui Gerakan Perempuan Peduli (GPP), ia membangun komunikasi lintas iman untuk menghentikan kekerasan serta memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak.
Mengumpulkan para ibu dalam suasana situasi konflik tentu bukan hal mudah. Apalagi didasarkan pada jaringan lintas iman, karena konflik itu sendiri mengatasnamakan agama.
Oleh karena itu, sebelum berkumpul mereka biasanya saling berjanji untuk bertemu secara diam-diam supaya tidak diketahui orang lain yang terlanjur memiliki rasa permusuhan pada agama yang dianggap lawan (Islam atau Kristen).
Semua kesulitan yang ia hadapi tidak meluruhkan semangatnya. Untuk melancarkan misi perdamaiannya, ia aktif mendatangi berbagai pihak yang dianggap potensial dalam mengurangi konflik. Mereka membangun komunikasi dengan gubernur, tentara, polisi, DPRD (baik provinsi atau kota kabupaten) untuk menghentikan konflik dan pertikaian.
Lahir di Langgur, Maluku Tengah, Suster Brigitta menjadi biarawati di Biara Puti Bunda Hati Kudus, Kota Ambon sejak 1975. Ia memilih hidup untuk berbagi kasih kepada sesama
dengan menjadi biarawati. Di biara itu, ia menempa iman dalam bentuk cinta kasih kepada semua umat manusia.
Maka, ketika terjadi konflik yang mengatasnamakan agama, ia merasa hal itu bertentangan dengan iman yang diyakininya. Ia kemudian membangun komunitas lintas iman yang memiliki visi perdamaian antarsesama umat manusia.
Setelah konflik berakhir, ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Ia mendampingi perempuan dan anak-anak yang menjadi korban konflik dan juga bencana. Dalam upaya itu, ia aktif dalam tiga yayasan sosial, yakni Yayasan Kasih Mandiri Ambon, Yayasan
Astidharma yang memperjuangkan nasib anak dan pendidikan, serta Gerakan Peduli Perempuan.
Tempat tinggalnya di kawasan Batumeja tak pernah sepi. Hingga larut malam, pintu
selalu terbuka untuk siapa saja yang membutuhkan uluran tangan.
*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud Toleransi. Dimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.