1001indonesia.net – Warahan Lampung atau disebut juga wawarahan adalah cerita yang dilantunkan secara berirama. Kisah-kisah yang disampaikan, seperti kepahlawanan, asal mula suku Lampung, dan cerita anak-anak.
Warahan berasal dari kata warah (cerita). Cerita itu dilantunkan dengan cara bersyair (ab-ab). Ceritanya bersambung dari episode ke episode.
Pada awalnya, warahan merupakan dongeng yang disampaikan orangtua atau kakek-nenek ke anak-cucu saat aktivitas di ladang, seperti memetik cengkih atau menuai padi, atau saat menjelang tidur.
Warahan kemudian berkembang menjadi hiburan warga saat syukuran usai panen ataupun acara bahagia lainnya. Mereka berkumpul pada malam hari ketika bulan purnama hingga menjelang subuh mendengarkan cerita dari seorang pewarah.
Ciri sastra lisan ini terlihat pada irama yang menyertai cerita. Sifatnya liris atau dipengaruhi pribadi dan emosi si pembawa cerita. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Lampung dengan dialek bahasa bergantung pada asal sang pewarah.
Cerita yang disajikan sebagian besar berupa cerita pelipur lara. Cerita ini juga tergantung pada daerah tempat asal warahan. Isi cerita umumnya bersifat mendidik, menyadarkan semua orang agar berbuat baik.
Awalnya warahan tidak disertai musik, tetapi pada perkembangannya diiringi dengan alat musik tradisional yang disebut gambus lunik. Dulu pewarah menuturkan cerita di tengah penonton hanya dengan alat penerang lampu semprong.
Kini, warahan Lampung telah berkembang menjadi teater yang dinamis. Di dalamnya terdapat dialog interaktif dengan penonton. Menjadi tontonan teater yang menarik, sastra lisan ini ditampilkan pada acara-acara hiburan rakyat.
Baca juga: Salawat Dulang, Kekayaan Sastra Lisan Islami dari Minangkabau