1001indonesia.net – Sasi merupakan tradisi kolektif masyarakat adat Maluku dan Papua berupa pelarangan terhadap pengambilan hasil sumber daya alam dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk menjaga kelestarian alam dan masyarakat dapat memanfaatkan hasilnya secara merata.
Dilansir dari CNN Indonesia, ada istilah “buka tutup Sasi”, yaitu waktu diberlakukan dan diakhirinya Sasi. Biasanya, pada “buka tutup Sasi”, masyarakat adat melakukan ritual. Ritualnya berbeda-beda, sesuai dengan kebudayaan adat di wilayah tersebut.
Tradisi masyarakat Maluku dan Papua ini dilakukan untuk menjaga keberlangsungan ekosistem di suatu wilayah, baik di laut ataupun darat. Implementasi tradisi Sasi di darat, misalnya pelarangan memanen kelapa. Sedangkan contoh untuk tradisi Sasi di laut adalah pelarangan memanen ikan.
Tradisi pelarangan memanen hasil alam itu diberlakukan dalam jangka waktu tertentu. Umumnya berlangsung cukup lama, tergantung dari jenis Sasi yang diberlakukan. Untuk jenis biota laut yang terancam punah, misalnya, Sasi bisa berlangsung bertahun-tahun.
Kearifan lokal ini merupakan cara masyarakat adat Maluku dan Papua menjaga kelangsungan ekosistem, sekaligus sebagai penghormatan terhadap alam yang menjadi sumber penghidupan mereka. Praktik konservasi tradisional ini yang sudah dilakukan masyarakat Maluku dan Papua sejak dulu.
Salah satu tradisi Sasi sebagai praktik konservasi yang paling dikenal dan masih lestari hingga kini adalah Sasi Lompa di Negeri Haruku, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.
Sasi Lompa sudah dilakukan sejak tahun 1600, merupakan perpaduan antara Sasi laut dan Sasi sungai. Lompa yang dijaga kelestariannya dengan Sasi tersebut adalah ikan sejenis sardin. Masyarakat Haruku sendiri mengenal empat jenis Sasi, yaitu laut, hutan, sungai, dan Sasi dalam negeri.
Dari ritual menuju upaya pelestarian alam berkelanjutan
Antara Maluku menulis, awalnya tradisi pelarangan untuk mengakses wilayah atau sumber daya alam tertentu ini lebih banyak digunakan untuk keperluan ritual. Seiring berjalannya waktu, pranata adat ini juga disadari membawa manfaat pada kelestarian berkelanjutan ekosistem di laut.
Masyarakat dan LSM kemudian mengembangkan kearifan lokal ini dengan bantuan pengetahuan modern sehingga lebih terarah pada tujuan pelestarian alam.
Di antara perubahan yang dilakukan adalah pembagian wilayah Sasi. Pertama, ada wilayah yang diperuntukkan sebagai “bank ikan” untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat adat.
Lalu ada wilayah yang diperuntukkan sebagai “wilayah sasi permanen”. “Wilayah Sasi permanen” ini tidak boleh disentuh oleh orang di luar masyarakat adat. Wilayah itu disebut “hak ulayat laut”, merupakan wilayah komunal adat untuk melindungi sumber daya di dalamnya.
Menjunjung nilai kebersamaan
Tak hanya menekankan kelestarian alam, tradisi Sasi juga mengandung nilai kebersamaan dan keadilan. Selain menjaga keberlanjutan sumber daya alam, tujuan diberlakukannya Sasi adalah agar masyarakat dapat menikmati hasilnya secara adil dan merata.
Sistem Sasi diberlakukan untuk kepentingan bersama. Hasil tangkapan ikan dikumpulkan lalu dibagi ke seluruh warga kampung. Yang selalu mendapat prioritas pertama untuk diberikan adalah golongan masyarakat yang paling membutuhkan, yakni para janda, anak yatim, orang-orang tua, dan kalangan tidak mampu.
Baca juga: Suku Baduy, Kearifan Lokal dalam Menjaga Alam