1001indonesia.net – Salah satu jenis rumah kapal Nusantara adalah rumah adat suku Batak, Sumatra Utara. Rumah tradisional Batak dikenal dengan penampang atapnya yang luar biasa dan permukaannya yang dihias dengan teliti. Masing-masing subsuku memiliki kekhasan arsitekturnya sendiri. Yang paling terkenal adalah arsitektur di daerah Toba, Karo, dan Simalungun karena tiga daerah ini yang paling tradisional dalam membangun rumah.
Dulu, rumah Batak dihuni oleh beberapa keluarga dekat. Namun, dengan masuknya agama Kristen abad ke-19 mengakibatkan upacara untuk keselarasan hubungan antarsesama penghuni rumah diabaikan. Sebagai gantinya, orang Batak membangun rumah keluarga tunggal yang lebih kecil.
Kampung Halaman Batak
Orang Batak merupakan salah satu suku minoritas terbesar di Indonesia. Tanah Batak terkenal di utara, dengan deretan pegunungan melingkari Danau Toba membentuk “tanah datar” Batak di ketinggian 1.500 m dpl.
Suku Batak dibagi menjadi 6 atau tujuh suku: Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola, (Sipirok), Mandailing, dan Pardembanan (sekarang berafiliasi dengan masyarakat Melayu dari Asahan).
Prinsip Umum
Setiap subsuku Batak dibedakan oleh tradisi arsitektur yang menonjol. Tempat tinggal, rumah pertemuan, lumbung, gubuk penumbukan padi bersama, dan rumah pemakaman di masing-masing daerah memiliki kekhasannya sendiri. Meski demikian, sejumlah prinsip umum masih tampak.
Semua rumah tradisional Batak mempunyai rencana denah persegi empat, lantai panggung yang ditopang tiang-tiang dengan atap besar di atasnya. Atap ijuk atau daun rumbianya berpenampang segitiga dan mengarah keluar.
Rumah tradisional Batak dibangun seluruhnya dari kayu dan bahan alami lainnya, tanpa menggunakan paku besi. Bagian-bagian bangunannya disatukan dengan sambungan tanggan dan lumpang atau diikat dengan serat tali ijuk. Secara umum, tiang rumah bersandar pada fondasi batu. Ruang bawah lantai ditutup, biasanya difungsikan sebagai kandang kerbau.
Di masa lampau, satu rumah batak ditempati beberapa keluarga. Pembagian ruangan dalam rumah memperlihatkan hubungan sosial mereka dengan pemilik utama. Unit keluarga dikelompokkan di sekitar perapian. Ruang keluarga dibagi pada malam hari dengan menggantung tikar atau bahan kain yang memberikan kebebasan pribadi. Di luar itu, tidak ada pembagian ruangan dalam.
Batak Toba
Walaupun rumah tradisional Batak Toba memiliki beberapa variasi bentuk, terdapat bentuk umum yang sama, yaitu atap pelana dan sopi-sopi atap memiring keluar.
Dulu, rumah tinggal yang lebih besar dapat menampung beberapa keluarga, masing-masing dengan perapian sendiri. Namun, saat ini kebiasaan tersebut sudah ditinggalkan. Rumah Toba masa kini cenderung lebih kecil daripada masa lalu.
Serambi depan dinyatakan dengan sederet balkon bertingkat yang digunakan oleh pemain musik sebagai tempat pengembara selama upacara di luar rumah. Balkon bawah diperluas ke dalam rumah, digunakan para pemain musik selama pertunjukan upacara di dalam rumah.
Jenis rumah tinggal Batak Toba yang paling anggun adalah rumah gorga. Rumah-rumah dimasuki dari bawah, melalui pintu di lantai ruang keluarga, dan dihiasi penuh dengan ukiran-ukiran kayu. Yang terakhir termasuk pengejawantahan Dewa Batak, Tapak Raja Suleiman, dan makhluk mistik yang dikenal sebagai singa-singa, yang merupakan gabungan dari badan manusia dengan kepala kuda.
Rumah siampora, pada ujung lain urutan sosial, merupakan bangunan yang lebih sederhana. Masuknya melalui serambi depan, tanpa ruang pemain musik pengembara dan serambi terukir dari rumah gorga. Pemilik yang kurang mampu akan menghiasi bagian depan dan samping rumah mereka dengan gambar-gambar yang melukiskan kehidupan sehari-hari.
Lumbung Toba (sopo) terletak di seberang rumah panggung bersisi terbuka di bawah tempat penyimpanan menyediakan daerah teduh dan dingin untuk kegiatan sehari-hari dan bermasyarakat.
Batak Karo
Bentuk rumah tradisional Batak Karo sangat beragam dan digolongkan menurut jenis teknik konstruksi yang dipakai untuk fondasi atau susunan atap yang terletak di atas. Atap ini menggambarkan kedudukan sosial dan martabat pendiri rumah.
Contoh yang tepat meskipun sudah jarang adalah rumah anjung-anjung dari penguasa setempat Karo, atau sibayak dengan atap utama ditumpuk bertingkat lebih tinggi dengan denah berbentuk silang dan bersopi-sopi di semua sudut atap.
Ukuran atap rumah Batak Karo lebih besar dan lebih berat dibanding rumah Batak Toba. Untuk itu, susunan atap rumah Batak Karo lebih rumit sehingga dapat menahan beban yang berat. Meski demikian, prinsip bangunan kedua subsuku ini sama, dan dianggap sebagai bagian dari tradisi arsitektur yang sama.
Rumah tradisional Batak Karo mampu menampung 8 sampai 12 keluarga yang dibariskan di kedua ujung lorong utama, menghubungkan dua pintu di kedua ujung bangunan. Pembagian ruangan masing-masing keluarga diatur menurut adat dan tidak bergantung pada jenis rumah. Setiap perapian untuk 2 keluarga.
Pintu masuk rumah Batak Karo melalui lantai bambu (ture-ture), wanita berkumpul di sini untuk mengobrol dan mengerjakan kegiatan sehari-hari. Rumah Batak karo jarang dihiasi ukiran kayu seperti rumah Batak Toba, tetapi dicat dengan warna tradisional Karo—merah, hitam, biru, hijau, dan kuning yang mewakili lima marga asli yang menurunkan pewaris saat ini.
Sumber: Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.