Rumah Limas, Rumah Kayu Warisan Budaya Palembang

977
Rumah Limas Palembang
Rumah limas Palembang terbuat dari kayu-kayu unggulan sehingga mampu bertahan hingga ratusan tahun. (Foto: Indonesiakaya.com)

1001indonesia.net – Salah satu rumah khas Sumatera Selatan berbentuk limasan. Berbeda dengan rumah limasan di Jawa, bangunan rumah limas khas Palembang ini berbentuk rumah panggung karena dibangun di daerah berawa. Gambarnya bisa Anda temukan pada uang pecahan Rp10.000.

Seperti umumnya rumah-rumah tradisional Indonesia lainnya, limas Palembang terbuat dari kayu yang terdapat di wilayah setempat. Umumnya yang digunakan untuk membangun rumah ini adalah jenis kayu unggulan. Beberapa di antaranya hanya tumbuh subur di wilayah Sumatera Selatan.

Bagian fondasi biasanya dibuat dari kayu unglen (Eusideroxylon zwageri). Kayu yang di tempat lain disebut sebagai kayu ulin atau kayu besi ini berstruktur kuat, tahan air, dan sangat awet. Konon bangunan yang terbuat dari kayu ulin mampu bertahan hingga ratusan tahun.

Sedangkan dinding, lantai, jendela, dan pintu terbuat kayu tembesu (Fagraea fragrans Roxb.). Selain sebagai bahan kusen dan daun pintu, salah satu kayu unggulan Sumatera Selatan ini juga digunakan sebagai bahan mebel ukir, seperti lemari hias, bingkai foto dan cermin, meja, kursi, dan lain-lain.

Sementara bagian kerangka rumah menggunakan kayu seru (Schima wallichi). Kayu yang cukup langka ini sengaja tidak digunakan untuk bagian bawah rumah. Dalam kebudayaan Palembang, kayu seru tidak boleh diinjak dan dilangkahi.

Lima tingkat

Bangunan rumah limas terdiri atas lima tingkat. Masing-masing tingkat memiliki makna dan fungsi tersendiri sesuai dengan filosofi Kekijing. Setiap ruangannya diatur berdasarkan usia, jenis kelamin, bakat, pangkat, serta martabat penghuninya.

Tingkat pertama yang disebut Pagar Tenggalung merupakan ruangan terhampar luas tanpa dinding pembatas. Ruangan seperti beranda ini difungsikan untuk tempat menerima para tamu yang datang pada saat acara adat.

Pada tingkat pertama ini, orang luar tidak bisa melihat aktivitas di dalam ruangan. Sedangkan dari dalam bisa melihat suasana di luar. Hal menarik lainnya adalah lawang kipas atau pintu yang jika dibuka akan membentuk langit-langit ruangan.

Tingkat kedua yang disebut Jogan merupakan tempat berkumpul diperuntukkan bagi anggota keluarga pemilik rumah yang berjenis kelamin laki-laki.

Gambar rumah limas pada uang pecahan Rp10.000 dan wujud aslinya di Museum Balaputradewa, Palembang. (Foto: Wikipedia)

Masuk lebih dalam atau pada Kekijing ketiga, lebih memiliki privasi dibanding ruangan sebelumnya. Posisi lantainya lebih tinggi dan bersekat. Ruangan tingkat tiga ini hanya digunakan oleh tamu undangan khusus ketika pemilik rumah sedang mengadakan hajat.

Khusus orang yang dihormati dan memiliki ikatan darah dengan pemilik rumah, dipersilakan untuk ke tingkat keempat. Seperti para Dapunto dan Datuk, tamu undangan yang dituakan.

Terakhir, tingkat kelima yang disebut Gegajah memiliki ruangan paling luas dibanding ruangan lainnya. Ruangan ini lebih istimewa dan lebih bersifat privasi, hanya dimasuki oleh orang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam keluarga maupun masyarakat.

Pada tingkat kelima ini terdapat undakan lantai untuk bermusyawarah yang disebut Amben, dan kamar pengantin jika pemilik rumah mengadakan pernikahan.

Jika melihat bagian atas atap, terlihat ornamen simbar berbentuk tanduk dan melati. Selain sebagai ornamen, simbar ini berfunsi sebagai penangkal petir.

Ornamen itu juga memiliki makna. Melati melambangkan keagungan dan kerukungan, simbar dua tanduk berarti Adam dan Hawa, tiga tanduk berarti matahari-bulan-bintang, empat tanduk berarti sahabat nabi, dan simbar dengan lima tanduk melambangkan rukun Islam.

Menghadap timur dan barat

Rumah limas Palembang dibangun menghadap ke arah timur dan barat. Kedua arah rumah ini mengandung filosofi yang mendalam, berkaitan dengan kehidupan manusia.

Bagian yang mengarah ke barat disebut dengan Matoari Edop atau berarti matahari terbit. Bangunan ini melambangkan kehidupan baru.

Sedangkan yang menghadap ke barat disebut dengan Matoari Mati yang berarti matahari terbenam. Bangunan ini melambangkan akhir dari kehidupan.

Baca juga: Rumah Adat Jawa (Rumah Kampung, Limasan, dan Joglo)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

3 × 5 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.