1001indonesia.net – Tidak dapat diketahui dengan pasti bagaimana tepatnya wujud rumah asli masyarakat Jawa pada mulanya. Salah satu keterangan yang bisa dijadikan acuan terdapat pada relief candi dari abad ke-9. Di situ tergambar bentuk rumah adat Jawa waktu itu yang berciri sama dengan pola dasar arsitektur Austronesia dengan fondasi bertumpuk, atap memuncak, dan bubungan memanjang.
Dari gambaran relief tersebut, ada dugaan kuat bahwa rumah Jawa tempo dulu memiliki ciri yang sama dengan rumah-rumah tradisional Nusantara lainnya, khususnya yang mewarisi budaya Austronesia.
Baca juga: Ciri Umum Arsitektur Tradisional Indonesia
Saat ini, rumah adat Jawa dibangun di atas tanah dengan lantai ditinggikan serta bentuk atap yang lebih menyerupai rumah di Indonesia Timur. Secara umum, pola dasar rumah-rumah adat Jawa sama, tapi perbedaan jenis atap rumah menunjukkan kedudukan sosial dan ekonomi sang pemilik.
Jenjang Atap Rumah Kampung, Limasan, dan Joglo
Arsitektur rumah tradisional orang Jawa membedakan tiga jenis atap utama, yaitu bentuk kampung (dimiliki oleh orang dari golongan orang biasa), limasan (dimiliki oleh masyarakat golongan menengah), dan joglo (dimiliki oleh kaum bangsawan/ningrat).
Rumah Kampung
Rumah kampung menjadi tempat tinggal kalangan biasa, memiliki struktur atap yang paling sederhana di antara ketiganya. Atap puncak rumah kampung bersandar pada empat tiang tengah dan ditunjang oleh dua lapis tiang pengikat. Bubungan atap didukung penyangga dengan sumbu utara-selatan yang khas.
Struktur tersebut dapat diperbesar dengan melebarkan atap dengan sedikit kecondongan dari bagian atap yang ada.
Rumah Limasan
Limasan merupakan rumah keluarga Jawa yang berkedudukan lebih tinggi. Jenis rumah ini memiliki struktur atap yang lebih rumit daripada rumah kampung. Denah dasar empat tiang rumah diperluas dengan menambah sepasang tiang di salah satu ujung atap.
Kaso yang menyusur dari ujung tiang bubungan hingga tiang luar mengubah atap pelana datar menjadi atap pinggul dengan bagian trapezoidal membujur dengan lima bubungan atap.
Rumah Joglo
Yang paling rumit dari ketiganya adalah atap rumah joglo. Jenis atap ini secara tradisional merupakan tempat kediaman keluarga bangsawan. Saat ini pemiliknya tidak lagi terbatas pada keluarga bangsawan, tapi siapa saja yang memiliki cukup dana untuk membangunnya. Sebab, untuk membangun rumah joglo dibutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan lebih mahal.
Selain itu, jika rumah joglo terjadi kerusakan, proses perbaikan tidak boleh mengubah bentuk semula. Orang Jawa percaya, melanggar aturan ini akan menimbulkan pengaruh yang kurang baik pada penghuni rumah.
Atap joglo memiliki beberapa ciri khas yang membedakan dari 2 jenis atap sebelumnya. Atap utama lebih curam, sementara bubungan atap tidak sepanjang rumah limasan. Empat tiang utama mendukung atap yang di atasnya terdapat susunan khas berupa tiang-tiang berlapis yang diartikan sebagai tumpang sari.
Selain tiga bentuk utama rumah adat Jawa di atas, masih ada bentuk bangunan lain, seperti bentuk masjid dan tajug serta rumah bentuk panggang-pe. Yang disebut terakhir ini tidak berfungsi sebagai rumah, tetapi sesuai namanya (panggang berarti dipanaskan di atas api; pe berarti dijemur di bawah terik matahari) berfungsi sebagai tempat untuk menjemur barang-barang, seperti daun teh, pati, ketela pohon, dan lain-lain.
Rumah panggang-pe bisa juga berfungsi sebagai warung, gubug di tengah sawah untuk mengusir burung, ataupun sebagai tempat berjualan di tengah pasar tradisional.
Bangunan Rumah Adat Jawa
Rumah tradisional orang Jawa yang ideal terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu omah, pendapa, dan peringgitan. Rumah biasanya dilindungi oleh dinding batu bata atau pagar rendah. Peringgitan yang ditembus dengan sebuah pintu gerbang, baik secara fisik maupun perlambang, menghubungkan ruang dalam pribadi keluarga dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
Pendapa adalah sebuah bangunan terbuka yang terletak di bagian depan gugus rumah. Bagian ini merupakan daerah umum dari rumah tangga, tempat untuk berbagai pertemuan sosial dan pagelaran upacara.
Sementara peringgitan bisa memiliki bentuk atap kampung atau limasan. Bagian ini menghubungkan pendapa dengan omah. Peringgitan merupakan tempat wayang kulit dipergelarkan pada peristiwa-peristiwa upacara dan pesta.
Satuan rumah adat Jawa yang paling dasar dikenal sebagai omah. Denahnya persegi panjang dengan lantai ditinggikan. Daerah di bawah atap dibagi oleh bilah-bilah dinding menjadi daerah dalam dan luar.
Daerah luar terdiri atas emperan luar yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan umum. Di sini biasanya juga disediakan amben bambu yang digunakan untuk berbaring atau tidur pada siang hari. Sebuah pintu di dinding depan menghubungkan emperan ini dengan daerah dalem.
Dalem adalah bangunan tertutup dan dibagi lagi sepanjang poros utara-selatan menjadi daerah-daerah yang berbeda. Pada model rumah kampung dan limasan, pembagian ini merupakan sebuah perbedaan sederhana antara bagian depan dan belakang. Namun pada rumah joglo, terdapat pembagian tiga yang lebih rumit, antara depan, tengah, dan belakang.
Bagian timur depan dalem adalah tempat berlangsungnya tugas-tugas keluarga dan tempat semua anggota keluarga tidur pada sebuah ranjang bambu, sebelum pubertas anak-anak.
Bagian tengah dalem rumah joglo ditegaskan oleh empat tiang pokok. Saat ini, daerah itu tidak memiliki kegunaan khusus, namun secara tradisional, daerah ini merupakan tempat pedupaan dibakar sekali seminggu untuk menghormati Dewi Sri (dewi padi), juga merupakan tempat pengantin pria dan wanita duduk pada upacara pernikahan.
Bagian belakang rumah terdiri atas tiga ruang tertutup yang disebut senthong. Senthong barat merupakan tempat menyimpan beras dan hasil pertanian lain, sementara peralatan bertani disimpan di sisi timur. Senthong tengah secara tradisional merupakan ruangan yang dihias semewah mungkin dan dikenal sebagai tempat tinggal tetap Dewi Sri. Pasangan pengantin terkadang tidur di sini.
Dapur terletak di luar omah dan secara khas merupakan bangunan bebas yang terletak dekat sumur. Sumur sebagai penyedia air dikenal sebagai sumber kehidupan, dan selalu merupakan hal pertama diselesaikan ketika membangun sebuah gugusan rumah baru. Sebagaimana ukuran dan kekayaan keluarga tumbuh, bangunan-bangunan tambahan (gandhok) dapat ditambahkan.
Sumber:
- Gunawan Tjahjono, Indonesian Heritage: Arsitektur, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
- R. Ismunandar K., Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Semarang: Dahara Prize, 1986.
Informasi yang diberikan cukup bermanfaat dan memberikan gambaran mengenai rumah adat di Indonesia, semoga bisa memberikan banyak informasi yang berhubungan dengan rumah adat yang masih sering dilupakan oleh berbagai kalangan, Terima kasih
Di mana ya saya dapat membeli buku referensinya?
Mas Anto Santosa, sepertinya buku referensi tulisan ini belum diterbitkan lagi. Mungkin Mas Anto bisa browsing toko online yang menjual buku-buku bekas.
Salam