1001indonesia.net – Theodora Retno Maruti merupakan penari sekaligus koreografer. Ia seorang maestro dalam bidang tari klasik Jawa. Sebagai seorang koreografer, ia membawa kebaruan pada seni adiluhung yang oleh sebagian besar orang dianggap membosankan ini menjadi tontonan yang memikat.
Retno Maruti melakoni hidup sebagai penari hampir di sepanjang umurnya. Secara instens ia menggeluti tari klasik Jawa, terutama gaya Keraton Surakarta. Sebagai penghargaan atas kiprahnya, Raja Surakarta Paku Buwono XII memberinya gelar Kanjeng Mas Ayu (KMA) Kumalaningrum pada 2002.
Pada 2005, Akademi Jakarta memberikan penghargaan Life Achievement padanya. Retno Maruti dianggap sebagai seniman/budayawan yang telah memenuhi syarat dalam kualitas tinggi, kontinyuitas dalam berkarya, serta pengabdian di bidang seni dan budaya.
Lahir dari keluarga seniman pada 8 Maret 1947 di Baluwarti, kompleks Keraton Surakarta, Retno Maruti sudah akrab dengan dunia kesenian Jawa sedari kecil. Ayahnya, Susilo Atmojo, adalah seorang dalang sekaligus penyungging dan penatah wayang kulit. Ibunya, Siti Marsiyam, terampil membatik dan mendadani anak-anaknya di pentas tari.
Retno Maruti menari sejak usia lima tahun. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini banyak belajar seni dari ayahnya. Ia juga berguru pada para maestro tari pada zamannya, seperti Kusumo Kesowo, Sukorini (istri maestro jender Marto Pangrawit), penari keraton Laksminto Rukmi (selir kesayangan Pakubuwono X). Mereka mengajarinya menari gaya keraton Surakarta.
Retno Maruti juga seniman tari Yogyakarta, Bagong Kussudiardja dan Basuki Kusworogo. Dari Bei Mardusari dan Sutarman, Retno Maruti belajar menembang.
Ilmu tari Retno Maruti semakin terasah lewat pentas. Pada usia remaja, ia menjadi bagian dalam pentas Sendratari Ramayana pada rentang tahun 1961 sampai 1968. Perannya sebagai Kijang Kencana mendapat sanjungan dari Presiden Sukarno. Pada 1964, ia tampil di World Fair, New York, Amerika Serikat, selama delapan bulan. Ia juga tampil di Expo 70 di Osaka, Jepang.
Padneçwara
Pada 1976, bersama suaminya yang juga penari, Arcadilus Sentot Sudiharto, Retno Maruti mendirikan Padneçwara. Ketimbang sebagai sanggar atau studio, wadah ini digagas lebih sebagai komunitas penghayat tari. “Karena kami bukan sekadar belajar berkesenian, melainkian juga belajar kehidupan. Kami saling belajar, saling berbagi, saling memberi. Itulah yang memperkuat persahabatan hingga bisa langgeng,” ujar Retno Maruti tentang Padneçwara (Kompas 15/03/2017).
Padneçwara sudah seperti keluarga besar. Para anggotanya datang dari berbagai latar belakang. Ada yang penari profesional, tetapi banyak yang sehari-hari berprofesi di luar ranah kesenian, seperti dosen, sekretaris direktur, dan ibu rumah tangga.
Bersama Padneçwara, Retno Maruti mengadakan pagelaran hampir setiap tahun. Retno Maruti berusaha untuk dapat menghadirkan pertunjukan tari klasik Jawa yang sering dianggap membosankan ke hadapan penonton. Untuk itu, ia tidak hanya mementaskan tari klasik Jawa. Ia menafsirkannya kembali, memberi jiwa baru pada tradisi klasik tersebut, membuatnya menjadi pertunjukan yang menarik tanpa kehilangan kedalamannya.
Padneçwara ini masih aktif sampai sekarang. Di usianya yang sudah memasuki empat dekade ini, komunitas penghayat tari ini telah melahirkan banyak penari muda klasik. Mereka menjadi tonggak-tonggak baru dalam meneruskan dan mengembangkan seni tradisi ini. Dengan demikian, budaya adiluhung ini tetap lestari dan tak lekang oleh waktu.