Puasa bagi Orang Jawa

Putu Pirnadi

1482
Puasa bagi Orang Jawa
Ilustrasi (Foto: bramardianto.com)

1001indonesia.net – Ada banyak jenis puasa yang dijalani orang Jawa. Ada puasa mutih, ngebleng, ngrowot, ngidang, dan lain-lain. Meski demikian, semua jenis puasa yang ada sebenarnya memiliki kesamaan. Puasa bagi orang Jawa merupakan tindakan untuk menyadari dan membatasi apa saja yang masuk ke dalam diri dan keluar dari dalam diri manusia.

Bagi orang Jawa, puasa atau tirakat menjadi sarana untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang. Dasar dari laku puasa adalah adanya kesadaran bahwa manungso iku panggonane salah lan luput (manusia adalah tempatnya salah).

Untuk itu, kita harus eling lan waspada dan selalu bersikap rendah hati. Namun, untuk eling lan waspada dan memiliki kerendahatian bukan soal mudah, terutama ketika kita larut dalam kehidupan keseharian. Kita perlu melatihnya. Salah satu caranya dengan puasa.

Puasa bagi orang Jawa merupakan cara untuk mengambil jarak dengan kehidupan sehari-hari. Manusia perlu mengambil jarak dari kehidupan sehari-hari untuk menemukan dirinya. Menjaga jarak merupakan cara agar manusia menjadi sadar karena larutnya kita dalam keseharian hidup mengeruhkan kesadaran.

Ketika kita mengidentikkan diri kita dengan perasaan-perasaan yang kita alami, seperti suka dan duka, bahagia dan sengsara, kita tidak akan pernah sampai pada pengetahuan mengenai diri kita yang sebenarnya. Saat kita tidak memiliki pengertian tentang diri sendiri, kita hidup dalam ilusi. Orang yang hidup dalam ilusi, jangankan memperbaiki kesalahan, menyadari bahwa dirinya melakukan kesalahan saja tidak mampu.

Dalam arti ini, puasa bagi orang Jawa merupakan sarana agar diri manusia tidak terbelenggu dalam dunia keseharian, senantiasa mengingat sangkan paraning dumadi dan apa yang menjadi tujuan kita hidup di dunia ini.

Dengan mengambil jarak dari kehidupan sehari-hari, manusia mampu melihat secara jernih hidupnya, mengevaluasinya, dan memberi makna padanya. Karena, seperti kata Sokrates, “Hidup yang tidak dievaluasi, tidak layak untuk dihidupi.”

Puasa bagi orang Jawa juga merupakan upaya untuk mengendalikan hawa nafsu. Kesadaran manusia dapat dikacaukan oleh hawa nafsu. Oleh sebab itu, manusia membutuhkan sesuatu yang mampu memperlemah hawa nafsunya. Itu sebabnya, puasa juga disebut sebagai upaya untuk belajar mati yang berarti “mematikan” hawa nafsu yang ada dalam diri manusia sebagai cara untuk mengendalikannya.

Puasa yang kita jalankan dengan sepenuh hati akan membuat kita lebih berdaya untuk mengendalikan hawa nafsu kita. Mengekang hawa nafsu bukan berarti kita sudah tidak lagi memiliki nafsu-nafsu itu karena kita membutuhkannya dalam kehidupan kita di dunia ini. Namun, kita tidak lagi terikat padanya.

Nafsu-nafsu itu tidak lagi menjadi pendorong utama dalam kita bertindak. Kita tidak lagi dikuasai oleh perasaan. Dengan demikian, kita mampu bertindak atas dasar pemikiran yang rasional yang terarah pada kebaikan.

Kemampuan untuk bertindak tidak hanya karena dorongan instingtual saja, tapi karena tindakan itu dinilai membawa kebaikan merupakan ciri khas manusia yang membedakannya dari binatang. Dengan demikian, puasa bagi orang Jawa juga dapat berarti sebagai  upaya manusia untuk menjadi lebih manusiawi.

Seorang filsuf dari Ceko,Patocka, mengungkapkan bahwa apa yang membuat manusia sebagai [M]anusia adalah kemampuannya untuk melihat baik dan buruk. Kegiatan yang dilakukan manusia bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya secara instingtual saja. Manusia bertindak atas dasar apa yang menurutnya baik.

Namun, amat sering penilaian manusia tidak jernih karena ditutupi oleh nafsu serakah dan egoisnya. Batas baik dan buruk serta benar dan salah menjadi kabur, digantikan oleh apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Dalam arti ini, puasa sebagai sarana untuk mengekang hawa nafsu manusia berfungsi untuk menjernihkan kembali penilaian manusia atas yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah.

Selain itu, bagi orang Jawa, puasa juga merupakan sebuah bentuk penghargaan terhadap tubuh. Banyak orang yang memandang bahwa nafsu-nafsu berasal dari tubuh manusia. Bagi orang Jawa, tubuh pada dirinya sendiri bersifat suci. Kebertubuhan merupakan cara mengada manusia. Dengan bertubuhlah manusia dapat ada di dunia. Hasrat untuk makan, minum, dan lain-lain itu ada semata untuk keberlangsungan hidup manusia.

Dan bukan tubuh yang menjadi asal-muasal nafsu-nafsu, tapi pikiran manusia. Nafsu berasal dari keterikatan diri manusia pada hal-hal yang bersifat jasmanisah. Pikiranlah yang membuat hasrat-hasrat untuk makan, minum, dan seks yang awalnya hanya untuk keberlangsungan hidup kemudian berkembang tak terbatas menjadi semacam bentuk keserakahan dan egoisme.

Karena berkembangnya nafsu-nafsu ini, manusia acap kali memasukkan hal-hal yang tidak menyehatkan ke dalam tubuhnya. Makanan, minuman, dan seks yang dicari terus-menerus tanpa batas dan tak mengenal titik puas pada akhirnya menghancurkan diri manusia sendiri.

Anda tahu, saat ini bukan kelaparan dan wabah penyakit menular yang menjadi masalah besar di dunia, tapi obesitas dan penyakit-penyakit tak menular yang diakibatkan oleh salahnya pola hidup dan pola makan manusia.

Di sinilah gunanya puasa. Dengan menjaga apa yang masuk ke dalam tubuh, kita sebenarnya memuliakan tubuh. Kita hanya memasukkan ke dalam tubuh apa saja yang menyehatkan dan dalam porsi yang sebatas dibutuhkan. Bukankah ada hadis yang mengatakan, “Makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang.” Orang Jawa punya peribahasa, “Sumarah urip iro, raga amung sadermo.”

Terakhir, bagi orang Jawa puasa tak hanya berguna bagi orang yang melaksanakannya saja, tapi juga berguna bagi orang-orang di sekelilingnya.

dr. Radjiman Wedyodiningrat pada Kongres Permusyawaratan Perguruan I (Juni 1953) mengungkapkan bahwa sebab utama segala kekacauan adalah tabiat yang berkeinginan atau pamrih. Manusia yang bersikap pamrih adalah manusia yang hanya mau bertindak jika tindakan itu menguntungkan dirinya.

Mengapa menghilangkan pamrih itu penting? Benar kita hidup sebagai individu yang harus mengupayakan kebaikan-kebaikan bagi diri kita sendiri. Namun, kita tidak hidup sendiri. Kita hidup bersama yang lain dan hanya dapat menjadi bahagia ketika kita menjadi bagian yang bermakna dalam kehidupan bersama. Sekali lagi, kita menemukan makna hidup kita saat kita hidup bersama yang lain.

Lagi pula, kita membutuhkan orang lain karena pada dasarnya tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain untuk saling mengisi karena manusia memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Untuk itu, kita perlu bekerja sama dengan orang lain.

Untuk menjalin kerja sama yang baik, kita perlu membina hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain di sekitar kita dengan cara saling peduli. Sebaliknya, sikap pamrih yang berlebihan atau sikap mementingkan diri sendiri akan membuat perpecahan dalam kehidupan bersama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

17 − 4 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.