Praktik Gotong Royong dalam Kehidupan Bermasyarakat

1848
Praktik Gotong Royong dalam Kehidupan Bermasyarakat
Warga bersama-sama membantu membangun rumah seorang warga lain yang membutuhkan bantuan. Praktik gotong royong seperti ini sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia. (Foto: denmasdeni.blogspot.co.id)

1001indonesia.net – Kolektivisme atau gotong royong merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Praktik gotong royong sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang kerap kali bersama-sama mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu, apa pun itu.

Sukarno menggunakan istilah gotong royong untuk menegakkan etos persatuan pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965). Pada sebuah pidato tertanggal 1 Juni 1945, Sukarno menegaskan bahwa gotong royong merupakan intipati Pancasila setelah diperas sedemikian rupa.

Dalam pidatonya, Sukarno mengatakan,

Sebagaimana tadi telah saya katakan, kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!

Gotong royong merupakan paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”. Sukarno berujar,

Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama,
perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntulbaris buat kepentingan bersama.

Sebagai nilai budaya yang penting, sebenarnya gotong royong sangat bagus sejauh diberi makna yang luas dan dihayati dengan semangat persatuan yang benar. Pada 1930-an, Muhammad Hatta—sebagaimana tertuang dalam tulisannya di harian Daulat Rakjat, No. 75, tanggal 10 Oktober 1933—menggunakan istilah kolektivisme untuk merujuk pada konsep gotong royong yang menurutnya mengandung arti serupa.

Tanda-tanda kolektivisme, kata Hatta, tampak pertama kali pada sifat “tolong-menolong” yang menjiwai setiap individu dalam masyarakat Nusantara. Kata Hatta,

Sifat “tolong-menolong” itu menjadi satu tiang daripada pergaulan hidup Indonesia. Dan sifat itu berpengaruh pula atas caranya orang-orang di desa mengurus beberapa hal yang bersangkut dengan kebutuhan mereka. Keputusan dengan mufakat!

Lebih jauh, istilah ini dapat dipadankan dengan solidaritas, suatu prinsip yang penting dalam mendirikan negara di samping prinsip subsidiaritas. Dalam pengertian yang lebih
luas, kolektivisme adalah nilai di mana masyarakat tergabung dalam sebuah ikatan kohesif. Di dalam ikatan tersebut, setiap individu harus menjaga loyalitas terhadap kelompoknya. Dalam pengertian demikian, kolektivisme berarti perhatian individu terhadap masyarakat di mana ia berada (Latif 2011).

Kolektivisme atau gotong royong merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Praktik itu sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang kerap kali bersama-sama mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu, apa pun itu.

Seorang kolektivis cenderung menjaga martabat dan perasaan antarsesama. Mengkritik dan mempermalukan seseorang di hadapan orang lain merupakan tindakan yang tidak dapat diterima. Menghormati, menghargai, dan berperilaku sopan santun merupakan nilai-nilai yang terpenting dalam kolektivisme.

Perlu ditekankan di sini, penghormatan terhadap eksistensi perseorangan dan hak asasinya
tidak berarti harus mengarah pada individualisme. Individualisme memandang bahwa manusia secara perseorangan merupakan unit dasar dari seluruh pengalaman manusia.
Postulat dasar dari individualisme adalah otonomi independen dari setiap pribadi.

Ungkapan yang sangat terkenal dari individualisme menyatakan, “Kamu datang ke dunia seorang diri dan meninggalkan dunia seorang diri.” Meski kenyataannya tidak ada seorang pun yang lahir ke dunia secara sendirian. Selalu ada ibu dan budaya komunitas yang menyertainya, bahkan mengantarnya hingga ke “tempat peristirahatan yang terakhir” (Gilbert 2013: 34).

Apa yang menjadi karakteristik dari individualisme adalah keyakinan implisit bahwa relasi sosial bukanlah pembentuk perseorangan dalam pengalamannya yang paling fundamental. Dengan kata lain, perseorangan tak dipandang sebagai produk relasi-relasi sosial. Relasi
sosial adalah sesuatu yang terjadi pada individu ketimbang sesuatu yang mendefinisikan identitas dan mengoordinasikan eksistensi individu. Individu tidaklah dibentuk dan diubah secara fundamental oleh relasi sosial. Karena itu, tetap sebagai pribadi yang otonom-independen.

Berbeda dengan individualisme, Pancasila memandang bahwa dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil
dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk oleh jaringan relasi sosial.

Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di bawah keadaan yang sangat luar
biasa, bergantung pada bentuk-bentuk kerja sama dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam
mengamankan kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya.

Tanpa kehadiran yang lain, manusia tidak akan pernah menjadi manusia sepenuhnya. Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, selain menjadi manusia yang baik, manusia harus membentuk
kolektivitas yang baik.

Berikutnya, ketika Orde Baru memerintah, makna gotong royong bergeser dari pengertian sebelumnya dan lebih diasosiasikan kepada istilah kekeluargaan. Gagasan ini digunakan
untuk menyukseskan berbagai agenda pembangunan. Pada era ini, kekeluargaan diangkat ke permukaan dan dijadikan asas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Langkah ini dianggap keliru karena ternyata menyuburkan praktik Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN). Gagasan ini kemudian merambat pada penguasaan negara oleh segelintir kelompok dan golongan, termasuk keluarga. Dalam praktik seperti ini, pemerintahan Orde Baru menerapkan sistem negara yang sentralistik dan otoriter.

Dalam negara yang berteraskan kedaulatan keluarga, rakyat dan orang yang berada di luar inner circle dianggap hanya sebagai penumpang dan dijaga agar tidak menjadi orang dalam dengan cara meminggirkan peran, kedudukan, dan haknya untuk bersuara. Dengan kata lain, mereka sengaja dibuat rentan terhadap pemerasan, penindasan, dan perlakuan sewenang-wenang lain oleh negara atau birokrasi negara.

Dari berbagai contoh dan paparan di atas, tidaklah berlebihan jika mengatakan semangat gotong royong menunjukkan kekuatan dan keampuhannya sebagai karakter bangsa dan memiliki pengaruh yang begitu dahsyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Marilah kita terus bekerja bersama-sama mewujudkan satu kebaikan agar bisa dimanfaatkan dan dinikmati bukan oleh diri sendiri, melainkan bersama-sama.

Tak keliru pula jika Sukarno menyebut gotong royong sebagai inti sari Pancasila, ruh pandangan hidup bangsa Indonesia. Seperti dia katakan,

Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama.

*) Tulisan ini merupakan bagian dari buku Indonesia, Zamrud ToleransiDimuatnya kembali tulisan ini dalam situs 1001 Indonesia sebagai upaya untuk menyebarkan ide-ide yang terdapat dalam buku tersebut pada khalayak yang lebih luas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

twelve − 6 =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.