Kita semakin sering menyaksikan fenomena negatif populisme dan ekstremisme yang saling mendukung, menyuburkan rasisme, xenophobia, anti semitisme, dan bentuk lain intoleransi.
— Antonio Guterres (Sekjen PBB)
1001indonesia.net – Intoleransi merupakan suatu bentuk penolakan terhadap yang berbeda. Intoleransi bisa dipandang sebagai proses penyebaran kata-kata, ide-ide, maupun aksi tindakan yang bernuansa penyebaran kebencian terhadap “yang lain”. Sikap intoleran berpeluang mengubur kebebasan, dan bisa berujung pada konflik kekerasan.
Kini sikap penolakan terhadap perbedaan tersebut menggejala, antara lain melalui politik kebencian berbalut populisme. Dalam beberapa tahun terakhir, meski mayoritas masyarakat masih berpendapat bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan terbaik, intoleransi mengalami peningkatan dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia.
Padahal selama bertahun-tahun, Indonesia menjadi teladan bagi sikap toleransi antaragama. Sebagai contoh, pada November 2010, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengunjungi Jakarta dan mengatakan, “… the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics.”
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, tekanan terhadap warga minoritas meningkat. Beragam kelompok minoritas, seperti Syiah, Ahmadiyah, Buddha, Kristiani, dan aliran kepercayaan masih mengalami diskriminasi, intimidasi, tindakan kekerasan, atau bahkan pengusiran.
Bahkan ada daerah yang melarang pembangunan tempat ibadah bagi umat minoritas. Sikap intoleran dan konservatisme agama ditengarai bahkan semakin meningkat pasca-Pilkada Jakarta 2017.
Meski demikian, permasalahan yang terjadi sebenarnya bukan semata antara umat Muslim dan non-Muslim atau umat Muslim mainstream dengan yang non-mainstream, tetapi lebih pada tuntutan warga mayoritas untuk mendapat perlakuan istimewa (majority privilege).
Masalah yang ditimbulkan akibat adanya tuntutan majority privilege ini bukan hanya terjadi di Indonesia atau semata masalah umat Muslim saja, tapi juga terjadi di negara lain dan oleh umat agama lain.
Meningkatnya tuntutan majority privilege tersebut muncul dalam masyarakat karena adanya dorongan dari para populis yang membelah masyarakat dan menciptakan polarisasi antara rakyat kebanyakan berhadapan dengan pemerintah atau institusi-institusi yang mapan.
Para Populis membangun sentimen identitas, kemudian menggunakannya untuk memobilisasi massa demi kepentingan mereka. Politik identitas dan politik kebencian menjadi lahan subur bagi berkembangnya populisme.
Jadi maraknya populisme yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia dan berbagai negara tidak semata disebabkan oleh pemahaman agama tertentu, meski dalam praktiknya mereka menggunakan identitas agama. Intoleransi berbalut populisme berkembang di kalangan generasi muda melalui pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
Lingkungan Sekolah
Penelitian yang dilakukan SETARA menunjukkan bahwa benih-benih intoleransi dan radikalisme sudah tertanam sejak masa sekolah. Hasil survei SETARA pada 2015 terhadap SMA Negeri di Bandung dan Jakarta, terungkap 8,5% siswa setuju dasar negara diganti dengan agama; 9,8% siswa juga mendukung gerakan ISIS.
Hasil survei tentang toleransi pelajar di Indonesia yang dilakukan SETARA pada 2016 terungkap hasil yang tak jauh berbeda: dari 35,7% siswa yang memiliki paham intoleran dalam pikiran, 2,4% telah menunjukkan sikap intoleran, sementara 0,3% berpotensi menjadi teroris.
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta pada 2018 memperkuat survei tersebut. Survei yang dilakukan PPIM terhadap 2.237 guru di 34 provinsi menunjukkan bahwa guru di Indonesia bersikap tak toleran terhadap pemeluk agama lain.
Berdasarkan hasil Implicit Association Test (IAT), alat ukur dalam psikologi sosial yang dikembangkan para ahli di sejumlah universitas Amerika Serikat, mereka yang memiliki pandangan intoleran mencapai 63,07 persen responden. Jika didasarkan pada kuesioner, sebanyak 56,09 persen guru masuk kategori intoleran dan sangat intoleran.
Ini tentu sangat memprihatinkan. Pendidikan sekolah yang semestinya menjadi ladang persemaian nilai-nilai kebangsaan malah menjadi lahan subur bagi penyebaran intoleransi dan radikalisme.
Bagaimana kita harapkan generasi muda akan memiliki kecerdasan kewargaan untuk mampu menerima dan mengelola keberagaman sebagai syarat tegak berdirinya negara demokrasi, ketika guru yang menjadi ujung tombak pendidikan justru bergerak ke arah sebaliknya.
Ancaman Populisme
Populisme hadir dalam beragam bentuk. Ia bisa mewujud sebagai ideologi politik yang mengisi basis ideologi lain, seperti nasionalisme, atau sebagai bahan baku yang menjadi basis ideologi, seperti agama, ras, dan etnisitas. Ia juga bisa muncul dan digunakan sebagai sebuah metode, strategi, dan taktik dalam komunikasi politik.
Sebagai ideologi politik, populisme mengedepankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang membelah masyarakat menjadi dua kelompok besar, yang cenderung memiliki karakter homogen, tetapi saling berlawanan (antagonistik).
Populisme mengedepankan prinsip-prinsip anti-elitisme, klaim yang mengatasnamakan rakyat untuk menghantam para politisi dan institusi politik yang berkuasa. Juga untuk menjadikan kelompok-kelompok masyarakat dan politisi yang berseberangan sebagai ”musuh”—bukan hanya sebagai kompetitor.
Berkembangnya populisme ini tentu melemahkan sendi-sendi demokrasi Indonesia. Sebagai negara majemuk, pemberian hak-hak istimewa pada salah satu kelompok berarti menomorduakan atau memarjinalkan kelompok-kelompok lainnya.
Adanya perlakuan istimewa pada kelompok tertentu membuat kelompok-kelompok lainnya terpaksa harus menyesuaikan diri. Sebab, ketika salah satu kelompok merasa diri istimewa, maka akan sangat sulit menciptakan sebuah dialog yang setara ketika terjadi benturan kepentingan.
Jadi, alih-alih membela nilai kemanusiaan universal, para populis mengusung partikularisme dan elergi terhadap pluralisme. Mereka menggunakan isu ras dan agama untuk memobilisasi massa. Tentu ini menjadi ancaman bagi negara demokrasi. Dengan kekuatan massa dan tanpa mengindahkan prosedur yang berlaku, mereka menekan pemerintah dan masyarakat untuk tunduk terhadap keinginan mereka.
Pada ranah sosial, populisme mengancam kerukunan. Para populis yang anti terhadap keberagaman mengisi ruang publik dengan ancaman dan ungkapan kebencian. Akibatnya, minoritas sering menjadi korban yang berujung pada konflik kekerasan.
Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk menangkal kebencian berbalut populisme. Salah satunya adalah dengan memperluas dan meningkatkan mutu partisipasi publik. Pada level masyarakat, partisipasi publik dapat ditingkatkan melalui lembaga-lembaga sosial. Masyarakat perlu mengorganisasi diri untuk memperjuangkan program-program konkret dalam kehidupan mereka sehari-hari.
*) Tulisan telah dimuat dalam Modul Sekolah Harmoni yang diterbitkan pada 2018 oleh PSIK-Indonesia bekerja sama dengan Kemenko PMK dan FES-Indonesia.
Baca juga: Meningkatnya Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan